Hari ini,30 Agustus 2008. Di pendopo kabupaten digelar peringatan hari jadi kota Trenggalek, dimajukan dari yang resmi, yaitu tanggal 31 Agustus lantaran ada kemungkinan tanggal tersebut sudah masuk Ramadan.Setiap tahun,begitu tiba hari jadi saya biasa membuat catatan-catatan, seputar refleksi tentang kabupaten ini. Sejak dari problemnya,prospek ke depannya,hingga pernik-pernik yang mengiringi hal itu. Sebagian dari catatan itu dimuat Radar Tulungagung, Radar Kediri, Harian Bangsa,dan radio lokal.
Terkait ini,kemarin, saya dihubungi oleh wartawan radio Satria FM, mas Fajar. Saya diajak wawancara tentang hari jadi tahun 2008. Tentu saja pertanyaan mas Fajar "mancing-mancing" agar muncul sikap kritis saya.Wah...sebenarnya saya pengin tidak meledak-ledak lagi kayak dulu. Sebab,sekarang kan sudah mulai tua,jadi mesti bijak begitu...he..he..
Tapi begitu mas Fajar bertanya :" Apa sih yang sudah Trenggalek dapat di usianya yang ke-814 tahun ini?" Karena live dan posisi saya di kantor DPD PKS, maka saya harus menjawab secara spontan. Saya sampaikan bahwa tidak fair kalau saya mengatakan tidak ada perkembangan. Ada perkembangan,ada trend yang bagus.Namun saya juga merasa tidak adil,jika tidak saya sampaikan sejumlah keprihatinan.
Tentu saja sang penyiar memburu. Lho keprihatinan gimana? Saya sampaikan bahwa sejumlah prestasi yang diraih, apakah yang dari JPIP atau Adipura, hanyalah aspek permukaan.Kulit,dan belum isi. Sejumlah prestasi sekarang ini sebegitu jauh belum menyentuh substansi kebutuhan riil masyarakat kita.
Apa kebutuhan riil tersebut ? Paling tidak adalah : ketersediaan lapangan kerja,perbaikan infrastruktur,pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan dan sebagainya. Namun yang ternyata semua itu belum bisa dirasakan oleh masyarakat secra luas. Penghargaan JPIP bahwa Trenggalek adalah pioner ekonomi kerakyatan,hanyalah melihat pada satu aspek fenomena yang nampak yaitu pemberdayaan ekonomi nelayan.Tetapi, secara umum, apa yang disebut sebagai inovasi ekonomi lokal itu belum bisa dibilang merata.Apalagi bila kita bicara adipura.Penghargaan-penghargaan itu nampaknya masih merupakan sisi luar dari kondisi riil Trenggalek.
Ironisnya,kita ini masih suka dengan simbol-simbol.Dalam rangkaian perayaan hari kemerdekaan dan hari jadi,beberapa hari yang lalu,bupati "macak" wayang wong dalam acara lomba panahan tradisional.Kemudian,hari ini kita disuguhi aneka prosesi,sejak dari kirab pusaka,ziarah bupati pertama,aneka pakaian adat dan sebagainya.Ini hanyalah simbol-simbol.Bukannya tidak boleh, tetapi disamping simbol-simbol itu,ada yang lebih urgen : membangun dengan keringat ke lapangan riil.
Jadi,jika kita memang ingin meneruskan cita-cita the founding father Trenggalek,Menak Sopal, maka yang dilakukan Menak Sopal pertama kali begitu masuk Trenggalek adalah mendirikan program irigasi pertanian dengan membangun dam Bagong.Bukan dengan memakai blangkon,berpakaian adat jawa lantas sudah merasa meneruskan cita-cita Menak Sopal.Apalagi jika hanya dengan gelar jawa yang didapat dari kraton Solo akhirnya sudah merasa membangun.Itu hanyalah simbol,harus dilengkapi dengan substansi.
Hari Jadi.Sudahkah Trenggalek benar-benar "jadi"? Nampaknya kok belum.Kecuali kalau jadi guyon....he..he..
Jumat, 29 Agustus 2008
Sabtu, 24 Mei 2008
Nasionalisme Simbolik
Ini kisah masa kecil ketika didaulat mengikuti acara agustusan sekolah. Saya ingat betul, waktu itu diminta macak menjadi petani. Ibu guru memberi motivasi bahwa para petani adalah orang yang sangat berjasa bagi Indonesia. “Sehingga dengan karnaval ini, kita mengenang jasa-jasa mereka. Begitu pula dengan pak dokter, para ulama, para pedagang, dan lain-lain,sangat besar jasanya dalam mengisi kemerdekaan,” ujar sang guru. Begitulah, logika “bocah” yang saya tangkap waktu itu adalah bahwa setiap agustusan merupakan saat untuk mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan yang susah payah diraih para pahlawan itu mesti kita isi dengan acara agustusan : ya karnaval, ya mendirikan eksposisi, ya dengan ikut lomba baris, dan sebagainya.
Tentu saja kesederhanaan cara pikir saya semasa kecil itu tidak benar.Jelas sekali bahwa apa yang disebut sebagai mengisi kemerdekaan mesti dilakukan kapan saja, bukan saat agustusan thok. Belakangan, ketika sekolah di SMP baru saya tahu --- dan ini yang lebih penting --- bahwa mengisi kemerdekaan harus dengan kerja keras, mengisi hari-hari dengan prestasi. Akan tetapi, dari tahun ke tahun, yang hadir di depan kita adalah kenyataan bahwa mengisi kemerdekaan cukup dengan hanya memeriahkan agustusan. Tidak lebih. Nampaknya, pendidikan nasionalisme kita memang masih sebatas menanamkan “simbol-simbol” dan belum bergerak mengarah ke penanaman substansi. Ketika hendak menghargai jasa petani, misalnya, anak-anak belum diajak ke sawah, ikut bergelut dengan lumpur, sembari mendengarkan cerita bapak-bapak tani yang kesulitan meninggikan harga jual padi saat panen tiba. Sehingga, mengisi kemerdekaan dalam konteks menghormati petani, seharusnya bisa bermakna juga bagaimana berpikir semampu kita membantu pak tani menyelesaikan problem-problemnya. Atau setidaknya, akrab mengetahui masalahnya tersebut. Namun sekali lagi, di luar agenda agustusan, kita belum terbiasa mengeksplor nasionalisme itu dalam tataran substansi-substansi riil keseharian kita. Yang kita lakukan baru menampilkan simbol-simbol nasionalisme, itupun hanya saat agustusan.
Sehingga, susah untuk menghilangkan kesan yang terpatri dalam benak saya sewaktu kecil di atas. Bahwa mengisi kemerdekaan adalah dengan merayakan agustusan.
Budaya Serba Simbol
Rupa-rupanya kita telanjur hidup dalam alam yang serba simbolik. Kita telanjur lebih mengutamakan symbol-simbol ketimbang isi. Dalam acara-acara formal, hal itu nampak sekali. Lihatlah, betapa agenda-agenda birokrasi kita sangat menonjolkan aspek simbol. Setiap acara yang digelar biasanya lebih menekankan sisi formalitasnya. Akhirnya substansi acara itu sendiri jadi hilang. Berapa banyak kita dapati misalnya, dialog antara seorang pejabat dengan kalangan masyarakat, begitu sangat formal sehingga pertemuan yang ada akhirnya lebih sebagai basa-basi ketimbang menampung apa aspirasi masyarakat tersebut. Kehadiran seorang menteri, gubernur, ataupun bupati di forum-forum tatap muka dengan warga, susah kita menemukan substansi yang konkrit yang bisa ditindaklanjuti pasca pertemuan itu. Kalaupun ada hal itu sangat sedikit prosentasenya dibandingkan suasana formal-simboliknya.
Padahal biaya untuk mendukung terselenggaranya aspek-aspek formal-simbolik itu biasanya sangat besar. Seorang pejabat yang berkunjung ke daerah, pasti akan melibatkan sekian banyak personal dengan agenda beragam, sejak dari bagian kesenian, bagian protokoler, seksi ramah tamah dan sebagainya. Cost-nya saya yakin sangat mahal. Padahal, di sisi lain, substansi yang sebenarnya ingin disampaikan sering kehilangan ruh-nya. Jadi, mengejar formalitas, sambil melupakan substansi.
Kembali ke soal agustusan. Jika kita tidak hati-hati, forum agustusan yang datang tiap tahun itu bisa menjadi sekedar simbol-simbol nasionalisme. Sementara kita tidak berbicara apa “ isi “ nasionalisme yang kita berikan pada bangsa. Seakan-akan mengisi kemerdekaan selesai dengan upacara formal, karnaval, baris berbaris, aneka perlombaan, pesta kembang api, dan sebagainya. Anak-anak pun akan terbentuk dengan pola pikir begitu. Dan jangan lupa hal itu biayanya sangat mahal. Konon pemerintah kota Semarang mengeluarkan sebuah peraturan bahwa lomba penjor yang memakai sekian ratus watt listrik untuk seluruh kota tersebut ditiadakan. Pertimbangannya karena keprihatinan bahwa listrik kita masih byar pet dan PLN begitu kompleks persoalannya. Beberapa waktu yang lalu, seorang PNS juga pernah ngudarasa pada saya bahwa dua anaknya perlu biaya mahal karena harus ikut karnaval semua. “ Apa hal seperti itu tidak ada kebijakan untuk disederhanakan?” ujarnya sembari usul bahwa acara PHBN di Kab.Trenggalek perlu disederhanakan.
Simbol dan Isi Harus Imbang
Yang patut dicatat, adalah bahwa bukan berarti acara-acara agustusan itu salah semua. Tidak. Bukan berarti tidak boleh mengedepankan simbol dalam agenda-agenda agustusan. Boleh saja, bahkan dalam hal-hal tertentu hal itu diperlukan. Yang patut ditekankan disini adalah bagaimana agar disamping acara-acara formal-simbolik itu, harus diimbangi dengan agenda-agenda yang lebih mengarah substansi dan lebih bermanfaat, syukur-syukur mendidik. Misalnya, kalau ada agenda-agenda pawai, pentas kesenian dan sebagainya, kenapa tidak digagas semisal lomba menulis aspirasi, atau lomba karya ilmiah untuk pelajar dan mahasiswa, atau lomba teknologi tepat guna seperti dulu pernah diselenggarakan. Atau model acara lain yang lebih berkualitas. (Dimuat Radar Tulungagung,rabu,13 Agustus 2008)
Tentu saja kesederhanaan cara pikir saya semasa kecil itu tidak benar.Jelas sekali bahwa apa yang disebut sebagai mengisi kemerdekaan mesti dilakukan kapan saja, bukan saat agustusan thok. Belakangan, ketika sekolah di SMP baru saya tahu --- dan ini yang lebih penting --- bahwa mengisi kemerdekaan harus dengan kerja keras, mengisi hari-hari dengan prestasi. Akan tetapi, dari tahun ke tahun, yang hadir di depan kita adalah kenyataan bahwa mengisi kemerdekaan cukup dengan hanya memeriahkan agustusan. Tidak lebih. Nampaknya, pendidikan nasionalisme kita memang masih sebatas menanamkan “simbol-simbol” dan belum bergerak mengarah ke penanaman substansi. Ketika hendak menghargai jasa petani, misalnya, anak-anak belum diajak ke sawah, ikut bergelut dengan lumpur, sembari mendengarkan cerita bapak-bapak tani yang kesulitan meninggikan harga jual padi saat panen tiba. Sehingga, mengisi kemerdekaan dalam konteks menghormati petani, seharusnya bisa bermakna juga bagaimana berpikir semampu kita membantu pak tani menyelesaikan problem-problemnya. Atau setidaknya, akrab mengetahui masalahnya tersebut. Namun sekali lagi, di luar agenda agustusan, kita belum terbiasa mengeksplor nasionalisme itu dalam tataran substansi-substansi riil keseharian kita. Yang kita lakukan baru menampilkan simbol-simbol nasionalisme, itupun hanya saat agustusan.
Sehingga, susah untuk menghilangkan kesan yang terpatri dalam benak saya sewaktu kecil di atas. Bahwa mengisi kemerdekaan adalah dengan merayakan agustusan.
Budaya Serba Simbol
Rupa-rupanya kita telanjur hidup dalam alam yang serba simbolik. Kita telanjur lebih mengutamakan symbol-simbol ketimbang isi. Dalam acara-acara formal, hal itu nampak sekali. Lihatlah, betapa agenda-agenda birokrasi kita sangat menonjolkan aspek simbol. Setiap acara yang digelar biasanya lebih menekankan sisi formalitasnya. Akhirnya substansi acara itu sendiri jadi hilang. Berapa banyak kita dapati misalnya, dialog antara seorang pejabat dengan kalangan masyarakat, begitu sangat formal sehingga pertemuan yang ada akhirnya lebih sebagai basa-basi ketimbang menampung apa aspirasi masyarakat tersebut. Kehadiran seorang menteri, gubernur, ataupun bupati di forum-forum tatap muka dengan warga, susah kita menemukan substansi yang konkrit yang bisa ditindaklanjuti pasca pertemuan itu. Kalaupun ada hal itu sangat sedikit prosentasenya dibandingkan suasana formal-simboliknya.
Padahal biaya untuk mendukung terselenggaranya aspek-aspek formal-simbolik itu biasanya sangat besar. Seorang pejabat yang berkunjung ke daerah, pasti akan melibatkan sekian banyak personal dengan agenda beragam, sejak dari bagian kesenian, bagian protokoler, seksi ramah tamah dan sebagainya. Cost-nya saya yakin sangat mahal. Padahal, di sisi lain, substansi yang sebenarnya ingin disampaikan sering kehilangan ruh-nya. Jadi, mengejar formalitas, sambil melupakan substansi.
Kembali ke soal agustusan. Jika kita tidak hati-hati, forum agustusan yang datang tiap tahun itu bisa menjadi sekedar simbol-simbol nasionalisme. Sementara kita tidak berbicara apa “ isi “ nasionalisme yang kita berikan pada bangsa. Seakan-akan mengisi kemerdekaan selesai dengan upacara formal, karnaval, baris berbaris, aneka perlombaan, pesta kembang api, dan sebagainya. Anak-anak pun akan terbentuk dengan pola pikir begitu. Dan jangan lupa hal itu biayanya sangat mahal. Konon pemerintah kota Semarang mengeluarkan sebuah peraturan bahwa lomba penjor yang memakai sekian ratus watt listrik untuk seluruh kota tersebut ditiadakan. Pertimbangannya karena keprihatinan bahwa listrik kita masih byar pet dan PLN begitu kompleks persoalannya. Beberapa waktu yang lalu, seorang PNS juga pernah ngudarasa pada saya bahwa dua anaknya perlu biaya mahal karena harus ikut karnaval semua. “ Apa hal seperti itu tidak ada kebijakan untuk disederhanakan?” ujarnya sembari usul bahwa acara PHBN di Kab.Trenggalek perlu disederhanakan.
Simbol dan Isi Harus Imbang
Yang patut dicatat, adalah bahwa bukan berarti acara-acara agustusan itu salah semua. Tidak. Bukan berarti tidak boleh mengedepankan simbol dalam agenda-agenda agustusan. Boleh saja, bahkan dalam hal-hal tertentu hal itu diperlukan. Yang patut ditekankan disini adalah bagaimana agar disamping acara-acara formal-simbolik itu, harus diimbangi dengan agenda-agenda yang lebih mengarah substansi dan lebih bermanfaat, syukur-syukur mendidik. Misalnya, kalau ada agenda-agenda pawai, pentas kesenian dan sebagainya, kenapa tidak digagas semisal lomba menulis aspirasi, atau lomba karya ilmiah untuk pelajar dan mahasiswa, atau lomba teknologi tepat guna seperti dulu pernah diselenggarakan. Atau model acara lain yang lebih berkualitas. (Dimuat Radar Tulungagung,rabu,13 Agustus 2008)
Sabtu, 29 Maret 2008
Menjadi Menak Sopal ?
“MENJADI” MENAK SOPAL ?
Sebuah Essay Budaya
Oleh : Mulyono Ibrahim
Yang jelas ini bukan gossip.Dengar-dengar, para tokoh Trenggalek akan bermain Ketoprak.Lakonnya cukup membumi : Adipati Menak Sopal. Bagi warga Trenggalek mungkin saja ini kabar baik. Yaaa, paling tidak, di tengah himpitan kesulitan ekonomi, di sela-sela susahnya mendapatkan lapangan kerja, di antara mimpi buruk naiknya harga-harga kebutuhan pokok, setidaknya tokoh-tokoh kita sudah memberi sedikit solusi. Yakni agar kita-kita, sebagian besar rakyat yang sudah mulai mengidap “stress ringan” ini setidaknya tidak bertambah stress lagi. Masyarakat yang mulai merasakan betapa getirnya dampak ekonomi nasional maupun lokal, semoga terhibur menyaksikan para tokoh mereka bermain ketoprak. Jadi, marilah kita dukung para tokoh kita ---sejak dari bupati, wakil bupati dan jajaran birokrasi di bawahnya—memberikan sedikit solusi himpitan ekonomi dengan bermain ketoprak.Nampaknya para tokoh nasional perlu meniru tokoh Trenggalek dalam menyikapi keadaan yang ruwet ini : yakni dengan main ketoprak. Insya` Allah, saya juga akan sempatkan menonton.Tentu jika pas tidak hujan.
Saya pun juga bersyukur, ketika beberapa pekan sebelumnya dikasih “bocoran” bahwa tema yang diangkat adalah seputar perjuangan the founding father Trenggalek : Adipati Menak Sopal. Semoga ini juga menyiratkan sebuah tekad, bahwa ketokohan dan perjuangan Menak Sopal adalah sesuatu yang pantas ditiru, diwarisi, diamalkan dalam dunia nyata, disamping dilakonkan sebagai sebuah cerita ketoprak. Kisah sejarah ataupun legenda yang hidup di masyarakat, biasanya memang berisi tema-tema kepahlawanan. Ruh kepahlawanan adalah sebuah proses dimana perjuangan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam masyarakat manusia menempati posisi utama dan pertama. Sepanjang sejarah kemanusiaan, pahlawan adalah mereka yang konsisten di posisi tersebut. Sejak dari Rasulullah Muhammad SAW, para khalifah sesudahnya, Imam Ahmad bin Hambal, Al Afghani, Cut Nya` Din, Diponegoro, hingga Bung Karno dan Agus Salim, mereka semua adalah pahlawan di zamannya. Dan tak terkecuali adalah Menak Sopal, bupati Trenggalek pertama itu.
Budaya Simbolik
Salah satu persoalan penting dalam dinamika kebudayaan kita adalah ketika pemaknaan peristiwa-peristiwa sejarah budaya itu hanya berhenti sebagai budaya simbolik. Misalnya, kita telah merasa mengisi kemerdekaan ketika ikut upacara tujuh belasan di lapangan. Ibu-ibu muda kita telah merasa mencintai dan mewarisi semangat RA.Kartini dengan berpakaian kebaya dan ikut lomba ratu luwes. Begitu pula, barangkali kita telah merasa menjadi nasionalis ketika ikut menyanyikan lagu Padamu Negeri sebelum sebuah acara dimulai. Tentu saja bukan berarti itu semua tidak boleh, tetapi setelah segala yang bersifat “simbolik” itu mesti ada tindak lanjutnya. Sehingga nilai-nilai yang mulia itu bisa mewujud di dunia nyata. Namun yang kita lihat kan sesuatu yang kontras. Betapa rajin dan suntuk orang menyanyikan lagu-lagu cinta negeri tapi pada saat yang sama Republik ini pun jadi juara korupsi. Begitu seterusnya.
Bagaimana dengan cerita tentang Menak Sopal ? Tidak jauh beda. Sebagaimana kita ketahui Menak Sopal adalah seorang pahlawan rakyat Trenggalek. Beberapa ahli sejarah Trenggalek yang pernah saya temui mengatakan bahwa Menak Sopal bukan saja seorang bupati pertama yang dikirim pemerintahan Demak, tetapi juga seorang da`i, penyiar agama Islam pertama di Trenggalek. Membicarakan kisah Menak Sopal, sama dengan membicarakan hal-hal ideal di masa lalu. Tentu dengan harapan bisa diwujudkan di masa sekarang. Setidaknya, penulis mencatat hal-hal berikut sebagai keistimewaan seorang Menak Sopal.
Pertama, beliau adalah seorang yang sangat relijius dan seorang juru dakwah pertama di Trenggalek. Jejak-jejak relijiusitas ini bisa kita lihat dari langgam tata kota, dimana pendopo sebagai rumah dinas sang adipati selalu bersebelahan dengan masjid jami`. Ini memang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah Demak yang secara umum ingin menata sosial kemasyarakatan secara lurus dengan pedoman-pedoman yang tidak jauh dari nilai-nilai masjid. Maknanya adalah, ketika seorang bupati melakukan tugas-tugas kenegaraan maka agar tidak banyak mengalami “penyimpangan dan penyalahgunaan” wewenang maka harus dekat dengan masjid. Jadi, kalau ingin meniru Menak Sopal, maka para tokoh pemerintahan kita saya kira perlu memakmurkan masjid di sebelahnya. Atau dalam bahasa sekarang, birokrasi mesti dilambari dengan nilai-nilai iman dan taqwa. Ketika seorang bupati atau wakil bupati shalat jama`ah di masjid jami` hal itu bukan saja sebuah dakwah hal (nyata), tetapi adalah sebuah keteladanan yang secara psikologis sangat berpengaruh pada masyarakat di bawahnya.
Kita sangat yakin, jika seandainya Menak Sopal hidup lagi dan terpilih menjadi bupati dalam pilkada, maka yang akan dilakukan adalah shalat dzuhur di masjid jami`..He..he…
Kedua, Menak Sopal adalah seorang tokoh yang sangat mengerti skala prioritas. Kebijakan pembangunan beliau sangat menekankan apa kebutuhan riil warga masyarakat.Sehingga ketika melihat problem Trenggalek yang paling penting waktu itu adalah soal irigasi pertanian, maka beliau memprakarsai pembangunan bendungan (dam) yang kelak masyhur dengan sebutan Dam Bagong. Kebijakan-kebijakannya sangat menyentuh kebutuhan rakyat.
Saya sangat yakin, jika seandainya Menak Sopal hidup lagi dan menjadi bupati, saya yakin beliau tidak akan mendirikan sebuah percetakan. Sebab, Trenggalek adalah agraris, tidak bisa lepas dari pertanian dan kehutanan. Rakyat belum begitu perlu dengan percetakan besar, sebab ini daerah belum mengarah menjadi daerah urban (berkarakter kota). Jadi sangat tidak relevan pemerintah membangun percetakan yang nilainya 7 Milyard : sebuah duit yang cukup besar. Mestinya duit yang begitu gede, bisa diarahkan untuk pengembangan pertanian atau industri berbasis pertanian. Sayang, Menak Sopal sudah tidak bersama kita lagi.
Ketiga, Beliau adalah tokoh yang memiliki keberanian menegakkan kebenaran dan kebaikan. Banyak konflik yang muncul saat itu, terutama daerah-daerah yang masih bermasalah akibat konflik Majapahit-Demak. Namun Menak Sopal bisa menyelesaikan semua itu dengan berani dan bijak.
Jika membicarakan sosok Adipati Menak Sopal banyak sekali nilai-nilai ideal. Sebab, dia adalah pahlawan. Semakin kita membahas sejarahnya, semakin kita rindu akan kehadiran figur seperti beliau. Memang agak sayang, bahwa kehadiran “Menak Sopal” saat ini hanya sebatas di pagelaran sebuah ketoprak. Bukan di dunia nyata.Wallahu a`lam.
Mulyono Ibrahim
Peminat sejarah dan budaya Trenggalek
Sebuah Essay Budaya
Oleh : Mulyono Ibrahim
Yang jelas ini bukan gossip.Dengar-dengar, para tokoh Trenggalek akan bermain Ketoprak.Lakonnya cukup membumi : Adipati Menak Sopal. Bagi warga Trenggalek mungkin saja ini kabar baik. Yaaa, paling tidak, di tengah himpitan kesulitan ekonomi, di sela-sela susahnya mendapatkan lapangan kerja, di antara mimpi buruk naiknya harga-harga kebutuhan pokok, setidaknya tokoh-tokoh kita sudah memberi sedikit solusi. Yakni agar kita-kita, sebagian besar rakyat yang sudah mulai mengidap “stress ringan” ini setidaknya tidak bertambah stress lagi. Masyarakat yang mulai merasakan betapa getirnya dampak ekonomi nasional maupun lokal, semoga terhibur menyaksikan para tokoh mereka bermain ketoprak. Jadi, marilah kita dukung para tokoh kita ---sejak dari bupati, wakil bupati dan jajaran birokrasi di bawahnya—memberikan sedikit solusi himpitan ekonomi dengan bermain ketoprak.Nampaknya para tokoh nasional perlu meniru tokoh Trenggalek dalam menyikapi keadaan yang ruwet ini : yakni dengan main ketoprak. Insya` Allah, saya juga akan sempatkan menonton.Tentu jika pas tidak hujan.
Saya pun juga bersyukur, ketika beberapa pekan sebelumnya dikasih “bocoran” bahwa tema yang diangkat adalah seputar perjuangan the founding father Trenggalek : Adipati Menak Sopal. Semoga ini juga menyiratkan sebuah tekad, bahwa ketokohan dan perjuangan Menak Sopal adalah sesuatu yang pantas ditiru, diwarisi, diamalkan dalam dunia nyata, disamping dilakonkan sebagai sebuah cerita ketoprak. Kisah sejarah ataupun legenda yang hidup di masyarakat, biasanya memang berisi tema-tema kepahlawanan. Ruh kepahlawanan adalah sebuah proses dimana perjuangan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam masyarakat manusia menempati posisi utama dan pertama. Sepanjang sejarah kemanusiaan, pahlawan adalah mereka yang konsisten di posisi tersebut. Sejak dari Rasulullah Muhammad SAW, para khalifah sesudahnya, Imam Ahmad bin Hambal, Al Afghani, Cut Nya` Din, Diponegoro, hingga Bung Karno dan Agus Salim, mereka semua adalah pahlawan di zamannya. Dan tak terkecuali adalah Menak Sopal, bupati Trenggalek pertama itu.
Budaya Simbolik
Salah satu persoalan penting dalam dinamika kebudayaan kita adalah ketika pemaknaan peristiwa-peristiwa sejarah budaya itu hanya berhenti sebagai budaya simbolik. Misalnya, kita telah merasa mengisi kemerdekaan ketika ikut upacara tujuh belasan di lapangan. Ibu-ibu muda kita telah merasa mencintai dan mewarisi semangat RA.Kartini dengan berpakaian kebaya dan ikut lomba ratu luwes. Begitu pula, barangkali kita telah merasa menjadi nasionalis ketika ikut menyanyikan lagu Padamu Negeri sebelum sebuah acara dimulai. Tentu saja bukan berarti itu semua tidak boleh, tetapi setelah segala yang bersifat “simbolik” itu mesti ada tindak lanjutnya. Sehingga nilai-nilai yang mulia itu bisa mewujud di dunia nyata. Namun yang kita lihat kan sesuatu yang kontras. Betapa rajin dan suntuk orang menyanyikan lagu-lagu cinta negeri tapi pada saat yang sama Republik ini pun jadi juara korupsi. Begitu seterusnya.
Bagaimana dengan cerita tentang Menak Sopal ? Tidak jauh beda. Sebagaimana kita ketahui Menak Sopal adalah seorang pahlawan rakyat Trenggalek. Beberapa ahli sejarah Trenggalek yang pernah saya temui mengatakan bahwa Menak Sopal bukan saja seorang bupati pertama yang dikirim pemerintahan Demak, tetapi juga seorang da`i, penyiar agama Islam pertama di Trenggalek. Membicarakan kisah Menak Sopal, sama dengan membicarakan hal-hal ideal di masa lalu. Tentu dengan harapan bisa diwujudkan di masa sekarang. Setidaknya, penulis mencatat hal-hal berikut sebagai keistimewaan seorang Menak Sopal.
Pertama, beliau adalah seorang yang sangat relijius dan seorang juru dakwah pertama di Trenggalek. Jejak-jejak relijiusitas ini bisa kita lihat dari langgam tata kota, dimana pendopo sebagai rumah dinas sang adipati selalu bersebelahan dengan masjid jami`. Ini memang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah Demak yang secara umum ingin menata sosial kemasyarakatan secara lurus dengan pedoman-pedoman yang tidak jauh dari nilai-nilai masjid. Maknanya adalah, ketika seorang bupati melakukan tugas-tugas kenegaraan maka agar tidak banyak mengalami “penyimpangan dan penyalahgunaan” wewenang maka harus dekat dengan masjid. Jadi, kalau ingin meniru Menak Sopal, maka para tokoh pemerintahan kita saya kira perlu memakmurkan masjid di sebelahnya. Atau dalam bahasa sekarang, birokrasi mesti dilambari dengan nilai-nilai iman dan taqwa. Ketika seorang bupati atau wakil bupati shalat jama`ah di masjid jami` hal itu bukan saja sebuah dakwah hal (nyata), tetapi adalah sebuah keteladanan yang secara psikologis sangat berpengaruh pada masyarakat di bawahnya.
Kita sangat yakin, jika seandainya Menak Sopal hidup lagi dan terpilih menjadi bupati dalam pilkada, maka yang akan dilakukan adalah shalat dzuhur di masjid jami`..He..he…
Kedua, Menak Sopal adalah seorang tokoh yang sangat mengerti skala prioritas. Kebijakan pembangunan beliau sangat menekankan apa kebutuhan riil warga masyarakat.Sehingga ketika melihat problem Trenggalek yang paling penting waktu itu adalah soal irigasi pertanian, maka beliau memprakarsai pembangunan bendungan (dam) yang kelak masyhur dengan sebutan Dam Bagong. Kebijakan-kebijakannya sangat menyentuh kebutuhan rakyat.
Saya sangat yakin, jika seandainya Menak Sopal hidup lagi dan menjadi bupati, saya yakin beliau tidak akan mendirikan sebuah percetakan. Sebab, Trenggalek adalah agraris, tidak bisa lepas dari pertanian dan kehutanan. Rakyat belum begitu perlu dengan percetakan besar, sebab ini daerah belum mengarah menjadi daerah urban (berkarakter kota). Jadi sangat tidak relevan pemerintah membangun percetakan yang nilainya 7 Milyard : sebuah duit yang cukup besar. Mestinya duit yang begitu gede, bisa diarahkan untuk pengembangan pertanian atau industri berbasis pertanian. Sayang, Menak Sopal sudah tidak bersama kita lagi.
Ketiga, Beliau adalah tokoh yang memiliki keberanian menegakkan kebenaran dan kebaikan. Banyak konflik yang muncul saat itu, terutama daerah-daerah yang masih bermasalah akibat konflik Majapahit-Demak. Namun Menak Sopal bisa menyelesaikan semua itu dengan berani dan bijak.
Jika membicarakan sosok Adipati Menak Sopal banyak sekali nilai-nilai ideal. Sebab, dia adalah pahlawan. Semakin kita membahas sejarahnya, semakin kita rindu akan kehadiran figur seperti beliau. Memang agak sayang, bahwa kehadiran “Menak Sopal” saat ini hanya sebatas di pagelaran sebuah ketoprak. Bukan di dunia nyata.Wallahu a`lam.
Mulyono Ibrahim
Peminat sejarah dan budaya Trenggalek
Jumat, 28 Maret 2008
Pemerintahan Daerah Mau Dibawa Kemana?
Pemerintahan Daerah ; Mau Dibawa Kemana?
Oleh : Mulyono Ibrahim
Inilah era Otonomi Daerah ! Era dimana orang daerah berhak berbuat sesuai aspirasi nurani kedaerahannya. Era dimana kewenangan- kewenangan yang sempat “dicuri” pusat semasa Orba, kini dikembalikan ke daerah. UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur dan menjamin terlaksananya proses pelembagaan Otonomi daerah tersebut. Begitulah, akhirnya telinga kita jadi karib dengan istilah, misalnya, Pilkada (Pemilihan Langsung Kepala Daerah). Sesuatu yang barangkali tak mungkin terdengar selama kurun waktu tiga puluh tahun ke belakang. Bahkan mungkin sejak enam puluh tahun lalu, sejak negeri ini meraih kemerdekaan. Seumur-umur kita, mungkin baru belakangan ini saja kita memilih bupati atau walikota secara langsung. Nampaknya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa inilah salah satu hasil konkrit zaman Reformasi yang positif.
Nah, sebagaimana yang kita ketahui, out put dari kegiatan demokrasi yang disebut pilkada itu adalah terbentuknya sebuah pemerintahan daerah yang langgamnya jelas berbeda dengan pemerintahan masa lalu yang dihasilkan oleh pemilihan tak langsung. Jika seorang bupati, misalnya, dipilih oleh 45 anggota legislatif daerah, maka jelas posisi tawarnya akan sangat tergantung pada suara yang muncul dari gedung dewan. Betapapun bupati memiliki cita-cita berjalan ke arah barat, jika gedung dewan menghendaki berjalan ke utara, biasanya bupati tidak berdaya. Bagaimana dengan oposisi ? Biasanya juga lemah, karena operasi politik yang ada lebih tunduk pada paket-paket kepentingan (interest) ketimbang digerakkan oleh sebuah visi yang kuat. Maka kompromi adalah jalan keluar yang biasanya ditempuh.
Antara Tawar Menawar Politik dan Kekuatan Pilihan Rakyat
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah, jika seorang bupati atau walikota telah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, apakah dia otomatis bisa leluasa mengekspresikan gagasan-gagasannya yang tertuang dalam visi-misi yang kemudian dikonkritkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) ? Apakah ketika lembaga eksekutif tersebut telah mengantongi legitimasi rakyat melalui pilkada, serta merta mereka bebas menjalankan program-programnya ? Bagaimana dengan legislatif ?
Inilah kawasan yang cukup rumit. Pemerintahan daerah hasil pilkada secara moral dan politik tentu bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat yang memilihnya. Sehingga amat wajar jika keberlangsungan pemerintahan daerah memerlukan suasana yang kondusif, tenang dan jauh dari hiruk pikuk politik. Katakanlah, eksekutif ingin khusyu` mengerjakan PR yang dibebankan rakyat kepada mereka. Sehingga rakyat bisa mendapatkan apa yang pernah dijanjikan sang calon bupati atau walikota saat kampanye dulu.Itu di satu sisi.
Sementara di sisi lain, ada lembaga legislatif yang juga memiliki connecting (ketersambungan) dengan rakyat melalui partai-partai politik. Artinya, anggota legislatif juga memiliki logika berdemokrasi yang absah di alam otonomi daerah. Dengan bahasa lain, suara dari gedung Dewan juga memiliki sejumlah “kepentingan” yang mesti diperjuangkan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, legislatif jelas masih punya peran strategis, walaupun tidak bisa melakukan impeachment (pemecatan) pada kepala daerah. Diantaranya adalah dalam hal penentuan budget (anggaran) untuk APBD. Okelah eksekutif memiliki program-program yang canggih. Silakan eksekutif mengklaim melaksanakan amanat rakyat yang telah memilihnya, namun soal anggaran dia waji berunding dengan anggota Dewan yang merupakan representasi wakil rakyat juga. Disinilah terjadi medan tawar menawar antara kepentingan anggota legislatif dengan pemerintahan daerah hasil pilkada.
Bahwa legislatif mendesakkan kepentingannya sebenarnya lumrah saja. Di era otonomi daerah sering kita mendengar komentar-komentar agak miring. Memang harus diakui bahwa di awal-awal reformasi, kerap kali DPRD kebablasen menerapkan kewenangan-kewenangan Otonomi-nya, ditambah dengan kemunculan beberapa oknum anggota legislatif yang kebetulan bertindak tidak populer. Jelas, ini harus dikritisi. Namun, lepas dari itu semua, sistem kepolitikan kita memang masih menempatkan lembaga-lembaga negara termasuk DPRD dalam situasi transisi yang tengah mencari bentuk. Masih ingat dalam benak kita, belakangan anggota DPD protes kepada MPR agar kewenangannya ditambah karena mereka di pusat tidak begitu bisa “bermain”. Nah, jika mau jujur, lembaga legislatif atau lebih tepatnya, sistem kepartaian kita juga masih belum ideal.
Orang sering lupa bahwa kerja-kerja politik melalui mekanisme partai seperti pemilu, memerlukan cost (biaya) tinggi. Biaya tinggi dalam politik kita sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari masih rendahnya tingkat pendidikan politik rakyat, disamping para elit politik yang juga belum berpikir visioner dan ideologis dalam mengembangkan partainya. Dua aspek ini, pada gilirannya akan melahirkan budaya serba instant dalam perpolitikan kita. Dengarkanlah obrolan di warung-warung kopi, di gardu-gardu, atau di lokasi-lokasi keramaian, niscaya kita akan dapati bahwa untuk meraih suara di legislatif memerlukan biaya besar karena harus melalui logika pragmatis dan instant yang realitasnya masih disukai oleh sebagian besar rakyat. Mungkin agak berbeda kasusnya dengan pemilih yang melek politik, misalnya di Jakarta. Di daerah, rata-rata hal-hal tersebut masih berlaku.
Nah, wajar kalau akhirnya legislatif juga memiliki agenda-agenda, kepentingan dan persoalan yang barangkali saja belum tentu berhubungan dengan pelaksanaan visi misi kepala daerah pilihan rakyat.
Perlu Sedikit Cerdas
Kembali ke judul tulisan ini, maka pemerintahan daerah memang berada di persimpangan jalan. Jika terlampau kekeh berorientasi pada visi-misi yang dikampanyekan pada pilkada, sambil mengesampingkan kepentingan-kepentingan legislatif maka jelas badai oposisi dari DPRD akan sangat dahsyat. Jika ini yang terjadi, maka program pemerintahan daerah justru akan macet. Sebaliknya, jika lebih berorientasi pada kepentingan legislatif juga kurang bagus karena aspirasi rakyat selama pilkada berarti tidak fokus dijalankan. Bagaimana seharusnya ?
Nampaknya, menghadapi kenyataan lapangan yang demikian kompleks, pemerintahan daerah perlu sedikit lebih cerdas. Bupati dan wakil bupati adalah jabatan politis. Artinya, dalam seluruh kinerjanya memang berbasis pada pendekatan politik. Dalam menata seluruh program, mesti melakukan akomodasi-akomodasi kepentigan berbagai pihak dengan bargaining position yang jelas : yaitu agar mengamankan agenda pemerintahan daerah. Harus ditemukan titik tengah yang bisa menjembatani antara logika politik di satu sisi dengan logika pemerintahan daerah.
Jika kepala daerah tidak melakukan terobosan-terobosan cerdas, nampaknya akan semakin terkucil dari pergaulan politik lokal. Wallahu a`lam.
Penulis adalah pemerhati isu-isu daerah.Tinggal di Trenggalek
Oleh : Mulyono Ibrahim
Inilah era Otonomi Daerah ! Era dimana orang daerah berhak berbuat sesuai aspirasi nurani kedaerahannya. Era dimana kewenangan- kewenangan yang sempat “dicuri” pusat semasa Orba, kini dikembalikan ke daerah. UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur dan menjamin terlaksananya proses pelembagaan Otonomi daerah tersebut. Begitulah, akhirnya telinga kita jadi karib dengan istilah, misalnya, Pilkada (Pemilihan Langsung Kepala Daerah). Sesuatu yang barangkali tak mungkin terdengar selama kurun waktu tiga puluh tahun ke belakang. Bahkan mungkin sejak enam puluh tahun lalu, sejak negeri ini meraih kemerdekaan. Seumur-umur kita, mungkin baru belakangan ini saja kita memilih bupati atau walikota secara langsung. Nampaknya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa inilah salah satu hasil konkrit zaman Reformasi yang positif.
Nah, sebagaimana yang kita ketahui, out put dari kegiatan demokrasi yang disebut pilkada itu adalah terbentuknya sebuah pemerintahan daerah yang langgamnya jelas berbeda dengan pemerintahan masa lalu yang dihasilkan oleh pemilihan tak langsung. Jika seorang bupati, misalnya, dipilih oleh 45 anggota legislatif daerah, maka jelas posisi tawarnya akan sangat tergantung pada suara yang muncul dari gedung dewan. Betapapun bupati memiliki cita-cita berjalan ke arah barat, jika gedung dewan menghendaki berjalan ke utara, biasanya bupati tidak berdaya. Bagaimana dengan oposisi ? Biasanya juga lemah, karena operasi politik yang ada lebih tunduk pada paket-paket kepentingan (interest) ketimbang digerakkan oleh sebuah visi yang kuat. Maka kompromi adalah jalan keluar yang biasanya ditempuh.
Antara Tawar Menawar Politik dan Kekuatan Pilihan Rakyat
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah, jika seorang bupati atau walikota telah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, apakah dia otomatis bisa leluasa mengekspresikan gagasan-gagasannya yang tertuang dalam visi-misi yang kemudian dikonkritkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) ? Apakah ketika lembaga eksekutif tersebut telah mengantongi legitimasi rakyat melalui pilkada, serta merta mereka bebas menjalankan program-programnya ? Bagaimana dengan legislatif ?
Inilah kawasan yang cukup rumit. Pemerintahan daerah hasil pilkada secara moral dan politik tentu bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat yang memilihnya. Sehingga amat wajar jika keberlangsungan pemerintahan daerah memerlukan suasana yang kondusif, tenang dan jauh dari hiruk pikuk politik. Katakanlah, eksekutif ingin khusyu` mengerjakan PR yang dibebankan rakyat kepada mereka. Sehingga rakyat bisa mendapatkan apa yang pernah dijanjikan sang calon bupati atau walikota saat kampanye dulu.Itu di satu sisi.
Sementara di sisi lain, ada lembaga legislatif yang juga memiliki connecting (ketersambungan) dengan rakyat melalui partai-partai politik. Artinya, anggota legislatif juga memiliki logika berdemokrasi yang absah di alam otonomi daerah. Dengan bahasa lain, suara dari gedung Dewan juga memiliki sejumlah “kepentingan” yang mesti diperjuangkan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, legislatif jelas masih punya peran strategis, walaupun tidak bisa melakukan impeachment (pemecatan) pada kepala daerah. Diantaranya adalah dalam hal penentuan budget (anggaran) untuk APBD. Okelah eksekutif memiliki program-program yang canggih. Silakan eksekutif mengklaim melaksanakan amanat rakyat yang telah memilihnya, namun soal anggaran dia waji berunding dengan anggota Dewan yang merupakan representasi wakil rakyat juga. Disinilah terjadi medan tawar menawar antara kepentingan anggota legislatif dengan pemerintahan daerah hasil pilkada.
Bahwa legislatif mendesakkan kepentingannya sebenarnya lumrah saja. Di era otonomi daerah sering kita mendengar komentar-komentar agak miring. Memang harus diakui bahwa di awal-awal reformasi, kerap kali DPRD kebablasen menerapkan kewenangan-kewenangan Otonomi-nya, ditambah dengan kemunculan beberapa oknum anggota legislatif yang kebetulan bertindak tidak populer. Jelas, ini harus dikritisi. Namun, lepas dari itu semua, sistem kepolitikan kita memang masih menempatkan lembaga-lembaga negara termasuk DPRD dalam situasi transisi yang tengah mencari bentuk. Masih ingat dalam benak kita, belakangan anggota DPD protes kepada MPR agar kewenangannya ditambah karena mereka di pusat tidak begitu bisa “bermain”. Nah, jika mau jujur, lembaga legislatif atau lebih tepatnya, sistem kepartaian kita juga masih belum ideal.
Orang sering lupa bahwa kerja-kerja politik melalui mekanisme partai seperti pemilu, memerlukan cost (biaya) tinggi. Biaya tinggi dalam politik kita sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari masih rendahnya tingkat pendidikan politik rakyat, disamping para elit politik yang juga belum berpikir visioner dan ideologis dalam mengembangkan partainya. Dua aspek ini, pada gilirannya akan melahirkan budaya serba instant dalam perpolitikan kita. Dengarkanlah obrolan di warung-warung kopi, di gardu-gardu, atau di lokasi-lokasi keramaian, niscaya kita akan dapati bahwa untuk meraih suara di legislatif memerlukan biaya besar karena harus melalui logika pragmatis dan instant yang realitasnya masih disukai oleh sebagian besar rakyat. Mungkin agak berbeda kasusnya dengan pemilih yang melek politik, misalnya di Jakarta. Di daerah, rata-rata hal-hal tersebut masih berlaku.
Nah, wajar kalau akhirnya legislatif juga memiliki agenda-agenda, kepentingan dan persoalan yang barangkali saja belum tentu berhubungan dengan pelaksanaan visi misi kepala daerah pilihan rakyat.
Perlu Sedikit Cerdas
Kembali ke judul tulisan ini, maka pemerintahan daerah memang berada di persimpangan jalan. Jika terlampau kekeh berorientasi pada visi-misi yang dikampanyekan pada pilkada, sambil mengesampingkan kepentingan-kepentingan legislatif maka jelas badai oposisi dari DPRD akan sangat dahsyat. Jika ini yang terjadi, maka program pemerintahan daerah justru akan macet. Sebaliknya, jika lebih berorientasi pada kepentingan legislatif juga kurang bagus karena aspirasi rakyat selama pilkada berarti tidak fokus dijalankan. Bagaimana seharusnya ?
Nampaknya, menghadapi kenyataan lapangan yang demikian kompleks, pemerintahan daerah perlu sedikit lebih cerdas. Bupati dan wakil bupati adalah jabatan politis. Artinya, dalam seluruh kinerjanya memang berbasis pada pendekatan politik. Dalam menata seluruh program, mesti melakukan akomodasi-akomodasi kepentigan berbagai pihak dengan bargaining position yang jelas : yaitu agar mengamankan agenda pemerintahan daerah. Harus ditemukan titik tengah yang bisa menjembatani antara logika politik di satu sisi dengan logika pemerintahan daerah.
Jika kepala daerah tidak melakukan terobosan-terobosan cerdas, nampaknya akan semakin terkucil dari pergaulan politik lokal. Wallahu a`lam.
Penulis adalah pemerhati isu-isu daerah.Tinggal di Trenggalek
Rabu, 26 Maret 2008
Goro-goro Tiga Huruf
Kenaikan BBM dan Antisipasi Lokal
BBM. Tiga huruf ini belakangan kerap disebut-sebut orang. Bahkan kini orang susah untuk tidak bicara tiga huruf ini.Semua terpaksa ngomong soal BBM. Bukan hanya para mahasiswa yang menggelar demo. Juga bukan saja pihak pemerintahan SBY yang sibuk menjelaskan bahwa kenaikan BBM bukan semata-mata kekeliruannya, tapi akibat naiknya harga minyak dunia. Koran-koran pun menulis ulasan para pakar. Yaa, nampaknya cuma sedikit orang yang tidak ngomong BBM.
Namun, untuk konteks ketrenggalekan, yang paling banyak nggeremeng barangkali kawan-kawan dari kalangan sopir angkutan, ibu-ibu rumah tangga, bakul-bakul bakso, pedagang jajan pasar, dulur-dulur pedagang kaki lima, maupun kelompok-kelompok marjinal yang lain. Naiknya BBM tentu saja bikin gelisah semua orang. Jangankan yang menengah ke bawah, mereka yang konon punya penghasilan lumayan saja juga sempat mengeluh. Tak bisa dibantah, naiknya BBM bisa dipastikan disusul dengan meroketnya harga-harga kebutuhan dasar lain. Bahkan produk-produk tertentu malah sudah mendahuli naik. Hidup jadi kian susah. Rakyat di berbagai pelosok tambah terjepit ekonomi biaya tinggi.
Di tengah situasi seperti itu, nampaknya solusi jitu yang langsung bisa dirasakan dampaknya bagi rakyat belum kunjung mewujud. Pemerintah sebagaimana tahun-tahun lampau mengandalkan solusi yang tiga huruf juga : BLT. Solusi BLT tentu saja menuai protes banyak pihak. Sebab, duit yang seratus rupiah tersebut alih-alih bisa nambani luka-luka akibat kenaikan BBM. Justru duit yang tak seberapa itu melahirkan masalah baru, sejak dari data yang tidak sinkron hingga oyok-oyokan saat penerimaan di kantor pos. Begitulah, BLT pun akhirnya menjadi Bantuan Langsung Tawuran. Banyak pihak menilai BLT ibarat memberi ikan bleger, tanpa memberi kail. Jadi, tidak ada misi pendidikan kemandiriannya.
Seharusnya kenaikan BBM yang sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi rakyat tersebut, harus diantisipasi secara cerdas. Pemerintah daerah sesuai dengan semangat Otoda memiliki ruang yang cukup untuk melakukan sekian antisipasi konkrit. Mesti ada konsep secara menyeluruh pasca kenaikan BBM. Sangat mengherankan jika kenaikan BBM yang jelas-jelas telah mengubah dinamika ekonomi rakyat tersebut, tetapi tidak ada langkah-langkah antisipasi. Pemkab dan wakil rakyat harus punya agenda khusus terkait BBM yang out put-nya adalah kebijakan-kebijakan antisipatif, yang memberi solusi ---setidaknya jangka pendek dan menengah --- bagi rakyat.
Kira-kira apa kebijakan yang bisa ditelurkan Pemkab dan legislatif ? Setidaknya ada tiga hal. Pertama, kampanye moral untuk mengurangi ketergantungan pada BBM. Ya,minimal terkurangi. Beberapa daerah ada yang memberi contoh dengan bersepedah ke kantor pada hari-hari tertentu. Simbolik memang. Tapi setidaknya bisa membuat opini publik, bahwa kita sesungguhnya tidak akan mati tanpa BBM. Ini bisa dielaborasi dengan berbagai kegiatan lain, seperti penumbuhan energi alternatif seperti biodisel dari tanaman jarak dan sebagainya. Kedua, merancang APBD 2009 yang lebih berorientasi pada pengembangan ekonomi kerakyatan, seraya mengurangi atau bahkan memangkas anggaran-anggaran yang “mubazir” dan belum mendesak. Mencermati APBD Trenggalek dari tahun ke tahun, banyak sekali item-item kegiatan yang sebenarnya lebih bisa diarahkan pada kegiatan produktif. Nah, dengan naiknya BBM, hal itu harus diubah. Ketiga, prioritaskan kegiatan pemkab pada Sumber Daya Manusia. Artinya, SDM yang berkualitas tinggi, relatif lebih bisa mengatasi persoalan. Inovasi dan kreativitas dalam posisi sulit bisa lahir dari SDM yang berkualitas dan mandiri. Petani yang SDM-nya tinggi jelas akan punya wawasan bagaimana solusi mengatasi tanah yang kian rusak akibat pupuk kimia.Sebab, petani berwawasan jelas paham bahwa pertanian organik merupakan jawaban dari persoalan tanah tersebut. Begitu juga dengan soal BBM yang naik, pasti mereka yang kualitas SDM tinggi akan lebih bisa membuka solusi-solusi baru. Pemerintah-lah yang berkewajiban meningkatkan SDM warganya.
BBM. Tiga huruf ini belakangan kerap disebut-sebut orang. Bahkan kini orang susah untuk tidak bicara tiga huruf ini.Semua terpaksa ngomong soal BBM. Bukan hanya para mahasiswa yang menggelar demo. Juga bukan saja pihak pemerintahan SBY yang sibuk menjelaskan bahwa kenaikan BBM bukan semata-mata kekeliruannya, tapi akibat naiknya harga minyak dunia. Koran-koran pun menulis ulasan para pakar. Yaa, nampaknya cuma sedikit orang yang tidak ngomong BBM.
Namun, untuk konteks ketrenggalekan, yang paling banyak nggeremeng barangkali kawan-kawan dari kalangan sopir angkutan, ibu-ibu rumah tangga, bakul-bakul bakso, pedagang jajan pasar, dulur-dulur pedagang kaki lima, maupun kelompok-kelompok marjinal yang lain. Naiknya BBM tentu saja bikin gelisah semua orang. Jangankan yang menengah ke bawah, mereka yang konon punya penghasilan lumayan saja juga sempat mengeluh. Tak bisa dibantah, naiknya BBM bisa dipastikan disusul dengan meroketnya harga-harga kebutuhan dasar lain. Bahkan produk-produk tertentu malah sudah mendahuli naik. Hidup jadi kian susah. Rakyat di berbagai pelosok tambah terjepit ekonomi biaya tinggi.
Di tengah situasi seperti itu, nampaknya solusi jitu yang langsung bisa dirasakan dampaknya bagi rakyat belum kunjung mewujud. Pemerintah sebagaimana tahun-tahun lampau mengandalkan solusi yang tiga huruf juga : BLT. Solusi BLT tentu saja menuai protes banyak pihak. Sebab, duit yang seratus rupiah tersebut alih-alih bisa nambani luka-luka akibat kenaikan BBM. Justru duit yang tak seberapa itu melahirkan masalah baru, sejak dari data yang tidak sinkron hingga oyok-oyokan saat penerimaan di kantor pos. Begitulah, BLT pun akhirnya menjadi Bantuan Langsung Tawuran. Banyak pihak menilai BLT ibarat memberi ikan bleger, tanpa memberi kail. Jadi, tidak ada misi pendidikan kemandiriannya.
Seharusnya kenaikan BBM yang sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi rakyat tersebut, harus diantisipasi secara cerdas. Pemerintah daerah sesuai dengan semangat Otoda memiliki ruang yang cukup untuk melakukan sekian antisipasi konkrit. Mesti ada konsep secara menyeluruh pasca kenaikan BBM. Sangat mengherankan jika kenaikan BBM yang jelas-jelas telah mengubah dinamika ekonomi rakyat tersebut, tetapi tidak ada langkah-langkah antisipasi. Pemkab dan wakil rakyat harus punya agenda khusus terkait BBM yang out put-nya adalah kebijakan-kebijakan antisipatif, yang memberi solusi ---setidaknya jangka pendek dan menengah --- bagi rakyat.
Kira-kira apa kebijakan yang bisa ditelurkan Pemkab dan legislatif ? Setidaknya ada tiga hal. Pertama, kampanye moral untuk mengurangi ketergantungan pada BBM. Ya,minimal terkurangi. Beberapa daerah ada yang memberi contoh dengan bersepedah ke kantor pada hari-hari tertentu. Simbolik memang. Tapi setidaknya bisa membuat opini publik, bahwa kita sesungguhnya tidak akan mati tanpa BBM. Ini bisa dielaborasi dengan berbagai kegiatan lain, seperti penumbuhan energi alternatif seperti biodisel dari tanaman jarak dan sebagainya. Kedua, merancang APBD 2009 yang lebih berorientasi pada pengembangan ekonomi kerakyatan, seraya mengurangi atau bahkan memangkas anggaran-anggaran yang “mubazir” dan belum mendesak. Mencermati APBD Trenggalek dari tahun ke tahun, banyak sekali item-item kegiatan yang sebenarnya lebih bisa diarahkan pada kegiatan produktif. Nah, dengan naiknya BBM, hal itu harus diubah. Ketiga, prioritaskan kegiatan pemkab pada Sumber Daya Manusia. Artinya, SDM yang berkualitas tinggi, relatif lebih bisa mengatasi persoalan. Inovasi dan kreativitas dalam posisi sulit bisa lahir dari SDM yang berkualitas dan mandiri. Petani yang SDM-nya tinggi jelas akan punya wawasan bagaimana solusi mengatasi tanah yang kian rusak akibat pupuk kimia.Sebab, petani berwawasan jelas paham bahwa pertanian organik merupakan jawaban dari persoalan tanah tersebut. Begitu juga dengan soal BBM yang naik, pasti mereka yang kualitas SDM tinggi akan lebih bisa membuka solusi-solusi baru. Pemerintah-lah yang berkewajiban meningkatkan SDM warganya.
Senin, 17 Maret 2008
Buku Untuk Orang Desa
Buku Untuk Orang Desa
Walaupun belum ada survey yang menunjukkan angka statistik secara pasti, nampaknya kita cukup berani menarik kesimpulan secara umum bahwa sebagian besar buku yang diproduksi dan beredar di Indonesia masih membidik kalangan menengah ke atas. Kalau berbicara tentang kalangan menengah ke atas, itu artinya kita berbicara soal kelompok masyarakat yang secara umum berada di kota (urban community). Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan warga masyarakat desa yang berada di kelas menengah ke bawah yang jumlah mereka lebih banyak ketimbang masyarakat urban ? Padahal kalau mengangkat tema mencerdaskan kehidupan bangsa, masyarakat desa-lah yang lebih mendesak untuk dicerdaskan mengingat lebih terbatasnya akses informasi dan teknologi kepada mereka.
Orang Desa Butuh Buku Juga
Urgensi buku bagi warga yang tinggal di daerah pedesaan dirasakan mendesak sekarang ini. Sebab seringkali warga pedesaan yang rata-rata bertani, berkebun maupun beternak saat ini sangat membutuhkan pasokan informasi yang sesuai dengan dunia dan profesi mereka. Walaupun chanel televisi sudah masuk ke pelosok desa melalui antena parabola tetapi informasi yang dipancarkan mayoritasnya masih berkarakter kota. Kawan saya yang seorang petani di sebuah dusun, sering hapal dengan tayangan infotainment beserta problematika para selebritis di dalamnya. Tetapi belakangan saya sempat kasihan dengan kawan ini karena toh informasi tersebut nilai kemanfaatannya bagi dirinya yang sehari-hari bergelut dengan lumpur dan dunia pertanian sangat sangat kecil. Siaran-siaran yang ada boleh dikatakan tidak ada yang bersentuhan dengan dunia sawah, kebun dan peternakan. Industrialisasi media agaknya tidak melihat para petani di desa sebagai ladang bisnis yang menguntungkan.
Oleh karena itu, dunia buku bagi warga desa agaknya bisa sedikit mengisi ruang kosong tersebut. Warga desa perlu diajak juga untuk membaca buku yang sesuai dengan kebutuhan dan dunia mereka. Perlu kampanye besar-besaran untuk menggalakkan sadar baca bagi masyarakat desa. Tentang hal ini, saya jadi ingat ternyata ada Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.3 Tahun 2001 yang mengatur tentang perpustakaan desa atau kelurahan. Dalam Kepmendagri tersebut, secara tegas disebutkan bahwa pemerintah desa atau kelurahan wajib mengadakan perpustakaan bagi warganya yang dikelola oleh lembaga-lembaga di desa atau kelurahan tersebut. Namun, dalam realitasnya regulasi yang bagus ini nampaknya tidak bisa berjalan mulus di lapangan. Barangkali soal kultur membaca yang rendah menjadi penyebab tidak terealisirnya perpustakaan desa, disamping problem anggaran desa yang juga minim.
Pengadaan Buku Untuk Masyarakat Desa
Lepas dari belum berjalannya program perpustakaan desa yang digagas pemerintah sejak tahun 2001 tersebut, namun saya kira pengadaan buku untuk orang desa tetap harus dilakukan. Memang harus ada kerjasama yang sinergis antara pelaku perbukuan dengan kalangan LSM, ormas maupun pemerintah untuk menembus pasar desa. Ini mengingat, pasar buku di pedesaan bukan saja penuh tantangan tetapi lebih dari itu masih harus diciptakan. Artinya, mesti ada sentuhan tangan-tangan dari berbagai lini jika kita ingin mengembangkan buku untuk orang desa. Disamping itu dalam banyak hal proyek ini juga mesti disemangati oleh sejumlah idealisme. Sebab, jelas sekali yang terpampang di depan lebih banyak tantangan dan kendalanya ketimbang kemudahannya. Pasar buku umum saja sudah lumayan pelik, apalagi menembus kultur pedesaan. Tapi itulah asyiknya mengelola idealisme.
Buku-buku yang ada di pasar sekarang ini memang banyak yang menyoal pertanian, perkebunan atau perikanan. Materinya pun cukup beragam. Sejak dari trik menanam semangka hingga bagaimana beternak ikan lele dumbo. Hanya saja, masih nampak bahwa buku-buku tersebut secara umum belum dirancang untuk kebutuhan masyarakat desa secara langsung. Barangkali buku tersebut pas untuk mahasiswa jurusan pertanian atau para penyuluh pertanian. Namun belum seluruhnya sesuai untuk para warga desa.
Oleh karena itu, ke depan perlu pengadaan buku-buku untuk orang desa yang kurang lebih bercirikan sebagai berikut :
1. Menyentuh kebutuhan warga desa,
2. Bahasa yang sederhana dan gampang dipahami,
3. Cenderung mengarah pada hal-hal yang praktis, bukan teoritis,
4. Menghindari pemakaian istilah-istilah asing yang menyulitkan,
5. Ilustrasi dan gaya penulisan disetting dengan latar khas pedesaan.
Sekali lagi, ini semua harus dilakukan secara sinergis antara penerbit, penulis, LSM atau ormas dan pemerintah. Tanpa kerja bareng yang harmonis antar stake holder tersebut, mustahil kita menyuguhkan buku untuk orang desa. (kang_moel2006@ yahoo.co.id)
Mulyono
Penulis Lepas dan Pecinta Buku
Tinggal di Trenggalek-Jawa Timur
Walaupun belum ada survey yang menunjukkan angka statistik secara pasti, nampaknya kita cukup berani menarik kesimpulan secara umum bahwa sebagian besar buku yang diproduksi dan beredar di Indonesia masih membidik kalangan menengah ke atas. Kalau berbicara tentang kalangan menengah ke atas, itu artinya kita berbicara soal kelompok masyarakat yang secara umum berada di kota (urban community). Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan warga masyarakat desa yang berada di kelas menengah ke bawah yang jumlah mereka lebih banyak ketimbang masyarakat urban ? Padahal kalau mengangkat tema mencerdaskan kehidupan bangsa, masyarakat desa-lah yang lebih mendesak untuk dicerdaskan mengingat lebih terbatasnya akses informasi dan teknologi kepada mereka.
Orang Desa Butuh Buku Juga
Urgensi buku bagi warga yang tinggal di daerah pedesaan dirasakan mendesak sekarang ini. Sebab seringkali warga pedesaan yang rata-rata bertani, berkebun maupun beternak saat ini sangat membutuhkan pasokan informasi yang sesuai dengan dunia dan profesi mereka. Walaupun chanel televisi sudah masuk ke pelosok desa melalui antena parabola tetapi informasi yang dipancarkan mayoritasnya masih berkarakter kota. Kawan saya yang seorang petani di sebuah dusun, sering hapal dengan tayangan infotainment beserta problematika para selebritis di dalamnya. Tetapi belakangan saya sempat kasihan dengan kawan ini karena toh informasi tersebut nilai kemanfaatannya bagi dirinya yang sehari-hari bergelut dengan lumpur dan dunia pertanian sangat sangat kecil. Siaran-siaran yang ada boleh dikatakan tidak ada yang bersentuhan dengan dunia sawah, kebun dan peternakan. Industrialisasi media agaknya tidak melihat para petani di desa sebagai ladang bisnis yang menguntungkan.
Oleh karena itu, dunia buku bagi warga desa agaknya bisa sedikit mengisi ruang kosong tersebut. Warga desa perlu diajak juga untuk membaca buku yang sesuai dengan kebutuhan dan dunia mereka. Perlu kampanye besar-besaran untuk menggalakkan sadar baca bagi masyarakat desa. Tentang hal ini, saya jadi ingat ternyata ada Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.3 Tahun 2001 yang mengatur tentang perpustakaan desa atau kelurahan. Dalam Kepmendagri tersebut, secara tegas disebutkan bahwa pemerintah desa atau kelurahan wajib mengadakan perpustakaan bagi warganya yang dikelola oleh lembaga-lembaga di desa atau kelurahan tersebut. Namun, dalam realitasnya regulasi yang bagus ini nampaknya tidak bisa berjalan mulus di lapangan. Barangkali soal kultur membaca yang rendah menjadi penyebab tidak terealisirnya perpustakaan desa, disamping problem anggaran desa yang juga minim.
Pengadaan Buku Untuk Masyarakat Desa
Lepas dari belum berjalannya program perpustakaan desa yang digagas pemerintah sejak tahun 2001 tersebut, namun saya kira pengadaan buku untuk orang desa tetap harus dilakukan. Memang harus ada kerjasama yang sinergis antara pelaku perbukuan dengan kalangan LSM, ormas maupun pemerintah untuk menembus pasar desa. Ini mengingat, pasar buku di pedesaan bukan saja penuh tantangan tetapi lebih dari itu masih harus diciptakan. Artinya, mesti ada sentuhan tangan-tangan dari berbagai lini jika kita ingin mengembangkan buku untuk orang desa. Disamping itu dalam banyak hal proyek ini juga mesti disemangati oleh sejumlah idealisme. Sebab, jelas sekali yang terpampang di depan lebih banyak tantangan dan kendalanya ketimbang kemudahannya. Pasar buku umum saja sudah lumayan pelik, apalagi menembus kultur pedesaan. Tapi itulah asyiknya mengelola idealisme.
Buku-buku yang ada di pasar sekarang ini memang banyak yang menyoal pertanian, perkebunan atau perikanan. Materinya pun cukup beragam. Sejak dari trik menanam semangka hingga bagaimana beternak ikan lele dumbo. Hanya saja, masih nampak bahwa buku-buku tersebut secara umum belum dirancang untuk kebutuhan masyarakat desa secara langsung. Barangkali buku tersebut pas untuk mahasiswa jurusan pertanian atau para penyuluh pertanian. Namun belum seluruhnya sesuai untuk para warga desa.
Oleh karena itu, ke depan perlu pengadaan buku-buku untuk orang desa yang kurang lebih bercirikan sebagai berikut :
1. Menyentuh kebutuhan warga desa,
2. Bahasa yang sederhana dan gampang dipahami,
3. Cenderung mengarah pada hal-hal yang praktis, bukan teoritis,
4. Menghindari pemakaian istilah-istilah asing yang menyulitkan,
5. Ilustrasi dan gaya penulisan disetting dengan latar khas pedesaan.
Sekali lagi, ini semua harus dilakukan secara sinergis antara penerbit, penulis, LSM atau ormas dan pemerintah. Tanpa kerja bareng yang harmonis antar stake holder tersebut, mustahil kita menyuguhkan buku untuk orang desa. (kang_moel2006@ yahoo.co.id)
Mulyono
Penulis Lepas dan Pecinta Buku
Tinggal di Trenggalek-Jawa Timur
Senin, 03 Maret 2008
Perubahan : Darimana Dimulai?
Refleksi Hari Jadi Trenggalek
Perubahan ; Dari Mana Harus Mulai ?
Oleh : Mulyono Ibrahim *)
Setiap datang hari jadi, saya selalu sempatkan merenung sejenak. Apa yang sudah kita dapat dan apa yang belum kita raih untuk Trenggalek tercinta. Yaa, katakanlah menjadi analis sosial kecil-kecilan-lah. Suatu saat kalau saya sudah agak kaya sedikit, kepingin rasanya mengumpulkan refleksi berisi tulisan-tulisan bernuansa ketrenggalekan tersebut dalam sebuah buku. Mimpi saya memang kepingin menerbitkan sendiri buku khusus tentang Nggalek kemudian didiskusikan. Ini penting, agar kita-kita wong Nggalek terbiasa berdiskusi, terbiasa berbeda pendapat, terbiasa kritis tetapi tetap santun dan ramah. Bermimpi kan tidak dilarang.
Hari jadi tahun ini saya mencatat sebuah kekeliruan saya yang cukup fatal. Alhamdulillah, saya masih bisa belajar dari kekeliruan-kekeliruan agar tidak mengulang kembali kesalahan itu di tahun yang akan datang. Apa itu ? Begini. Ketika musim pilkada tahun kemarin, saya terlalu berharap banyak Trenggalek akan berubah seiring dengan perubahan kepemimpinan. Pada saat itu saya terlalu bersemangat bahwa Trenggalek akan mengalami sekian perubahan mendasar menyusul terpilihnya penguasa baru. Apalagi, ada jargon yang cukup menarik dari pemenang pilkada tersebut : Pro Perubahan ! Waktu itu, harapan membuncah di dada kita bahwa kehidupan politik akan lebih bermutu, penyelenggaraan administrasi pemerintahan akan lebih rapi, pelayanan publik menjadi lebih berorientasi kepada rakyat, konflik kepentingan bisa lebih ditata, dan seterusnya dan seterusnya. Tetapi, ternyata fakta di lapangan berbicara lain.Apa yang kita harap-harapkan itu ternyata tidak begitu gampang terealisir. Bahkan dalam banyak kasus, kita temukan kemunduran-kemunduran. Maksud saya, perubahan kepemimpinan politik jangan serta merta dikait-kaitkan dengan perubahan Trenggalek secara menyeluruh. Apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan nasib rakyat, pemberantasan korupsi, pelayanan publik dan kalimat-kalimat idealis lainnya. Hal-hal seperti itu tidak serta merta berhubungan langsung dengan pergantian kekuasaan.
Ada yang pernah memprotes saya. “Bukankah sampeyan termasuk barisan pendukung ? Kenapa tidak bisa membawa perubahan yang jelas di Trenggalek ?” tanya aktivis ini berapi-api. Saya pun perlu menjawab dengan jawaban santai tapi serius. “Betul.Tapi kan bupati dan wabup-nya bukan saya ? Artinya, peran serta maksimal kita dalam kekuasaan bagaimana pun hanyalah sebatas memberi masukan, saran dan kritik. Lebih dari itu ya ndak bisa. Wong kita bukan pemain.”
Tapi sudahlah. Yang jelas, berubahnya kepemimpinan belum tentu mengubah kondisi riil masyarakat. Soal ini memang agak rumit. Sebab, perubahan bupati dan wakil bupati dalam sistem kenegaraan kita memang tidak langsung terkait dengan unsur pemerintahan yang lain. Birokrasi misalnya. Bupati dan wabup boleh berubah seribu kali, tapi para pejabat di bawahnya kan masih tetap? Maka, Trenggalek memang identik dengan Indonesia. Dulu pernah saya tulis, Trenggalek adalah Indonesia kecil. Kondisinya sama dengan yang di pusat. Berubahnya presiden dan wapres tidak serta merta mengubah tatanan sosio budaya di bawahnya. Karena itu, dalam tataran tertentu, momen pilkada memang tidak bersinggungan secara langsung dengan perubahan masyarakat. Kalaupun ada kaitannya, itu tidak langsung. Itupun harus melalui syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi, seperti kekuatan visi, kekuatan basis politik,adanya keberanian mengambil sikap, adanya kekuatan inovasi dan kreatifitas dan sebagainya.
Gerakan Rakyat (Civil Society Movement)
Terus, Trenggalek ini harus diubah dimulai dari mana kalau begitu ? Saya menjadi mantap, yang jelas bukan dari momen pilkada an sich . Kalau ingin mengubah tatanan poleksosbud menuju yang lebih baik harus dimulai dari akarnya. Ini berarti harus dimulai dari rakyat di akar rumput. Rakyat mesti dibikin pinter dahulu sebelum kita memprogram yang lain-lain. Dalam ilmu politik ada istilah demokrasi meritokratik. Artinya, para pelaku demokrasi harus terdiri dari orang-orang yang tercerahkan lebih dahulu. Sebab, jika pelaku demokrasi terdiri dari orang-orang yang kurang pintar, maka timbulnya penipuan, pengebirian hak-hak politik akan sulit dihindari. Rakyat harus pintar dan berdaulat atas dirinya sendirinya.
Perubahan sosial yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin besar juga dimulai dari sini. Nabi Muhammad SAW misalnya, memulai perubahan sosial melalui beberapa tingkatan. Pertama, bina`u syakhsiyah islamiyah (pembentukan pribadi yang tercerahkan). Artinya perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Ibda` bi nafsik. Ada juga slogan yang sempat saya baca beberapa tahun lalu : Reformasilah dirimu, niscaya tegak reformasi di negerimu. Begitulah, Nabi membina para sahabat di Makkah selama 13 tahun. Kedua, bina`ul usrah al muslimah (pembinaan keluarga sejahtera). Dari terbentuknya pribadi yang tercerahkan tadi harus muncul keluarga-keluarga yang juga unggulan. Ketiga, bina`ul mujtama` al islami (pembinaan masyarakat). Artinya, setelah pribadi dan keluarga beres, baru mengubah masyarakat. Ini akan lebih gampang dan lebih sesuai dengan fitrah manusia. Nah, kalau mau dilanjutkan, ada tingkat keempat, yakni ishlahul hukumah (memperbaiki pemerintahan). Jadi, pemerintahan yang baik hanya bisa lahir dari pribadi, keluarga dan masyarakat yang juga baik. Inilah mungkin rahasianya, kenapa kita jadi sulit menemukan pemimpin yang baik dan cerdas, karena memang basis sosialnya belum mendukung untuk itu. Pemimpin dilahirkan oleh zamannya.
Mungkin ada yang bilang, wah kalau begini terlalu lamaa. Padahal persoalan di sekitar kita kan banyak dan menuntut segera diselesaikan. Memang betul, agak memakan waktu karena perlu melibatkan banyak elemen secara bersamaan. Tapi, jangan lupa, kita kan ndak potongan untuk melakukan yang cepat-cepat. Revolusi, itu bagi orang kita kan terlampau susah untuk membayangkannya. Bahkan, Hugo Chaves yang presiden Venezuela yang kharismatik itu pun, untuk melakukan revolusinya, juga harus melalui tahapan membangun gerakan masyarakat yang kuat.
Kembali ke Trenggalek sekarang. Jika kita ingin menciptakan perubahan maka harus dimulai dengan perubahan di tingkat masyarakat. Saya jadi tertarik menekuni dan menyelami bagaimana kerja kawan-kawan ORNOP (Organisasi Non Pemerintah) yang istiqomah yang setia mendampingi massa bawah meningkatkan dirinya. Mendampingi proses mereka, mendata dan memperjuangkan daftar aspirasi mereka. Memang tidak kita pungkiri banyak ORNOP yang berorientasi pragmatis dan bersifat sementara. Tapi, ide dasar ORNOP untuk memberdayakan masyarakat patut untuk dikembangkan. Bahkan harus didukung oleh pemerintah dan semua pihak. Wallahu a`lam.
Penulis adalah ketua
Institusi Pemberdayaan Potensi Masyarakat (IP2M)
Peminat masalah-masalah Trenggalek
Perubahan ; Dari Mana Harus Mulai ?
Oleh : Mulyono Ibrahim *)
Setiap datang hari jadi, saya selalu sempatkan merenung sejenak. Apa yang sudah kita dapat dan apa yang belum kita raih untuk Trenggalek tercinta. Yaa, katakanlah menjadi analis sosial kecil-kecilan-lah. Suatu saat kalau saya sudah agak kaya sedikit, kepingin rasanya mengumpulkan refleksi berisi tulisan-tulisan bernuansa ketrenggalekan tersebut dalam sebuah buku. Mimpi saya memang kepingin menerbitkan sendiri buku khusus tentang Nggalek kemudian didiskusikan. Ini penting, agar kita-kita wong Nggalek terbiasa berdiskusi, terbiasa berbeda pendapat, terbiasa kritis tetapi tetap santun dan ramah. Bermimpi kan tidak dilarang.
Hari jadi tahun ini saya mencatat sebuah kekeliruan saya yang cukup fatal. Alhamdulillah, saya masih bisa belajar dari kekeliruan-kekeliruan agar tidak mengulang kembali kesalahan itu di tahun yang akan datang. Apa itu ? Begini. Ketika musim pilkada tahun kemarin, saya terlalu berharap banyak Trenggalek akan berubah seiring dengan perubahan kepemimpinan. Pada saat itu saya terlalu bersemangat bahwa Trenggalek akan mengalami sekian perubahan mendasar menyusul terpilihnya penguasa baru. Apalagi, ada jargon yang cukup menarik dari pemenang pilkada tersebut : Pro Perubahan ! Waktu itu, harapan membuncah di dada kita bahwa kehidupan politik akan lebih bermutu, penyelenggaraan administrasi pemerintahan akan lebih rapi, pelayanan publik menjadi lebih berorientasi kepada rakyat, konflik kepentingan bisa lebih ditata, dan seterusnya dan seterusnya. Tetapi, ternyata fakta di lapangan berbicara lain.Apa yang kita harap-harapkan itu ternyata tidak begitu gampang terealisir. Bahkan dalam banyak kasus, kita temukan kemunduran-kemunduran. Maksud saya, perubahan kepemimpinan politik jangan serta merta dikait-kaitkan dengan perubahan Trenggalek secara menyeluruh. Apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan nasib rakyat, pemberantasan korupsi, pelayanan publik dan kalimat-kalimat idealis lainnya. Hal-hal seperti itu tidak serta merta berhubungan langsung dengan pergantian kekuasaan.
Ada yang pernah memprotes saya. “Bukankah sampeyan termasuk barisan pendukung ? Kenapa tidak bisa membawa perubahan yang jelas di Trenggalek ?” tanya aktivis ini berapi-api. Saya pun perlu menjawab dengan jawaban santai tapi serius. “Betul.Tapi kan bupati dan wabup-nya bukan saya ? Artinya, peran serta maksimal kita dalam kekuasaan bagaimana pun hanyalah sebatas memberi masukan, saran dan kritik. Lebih dari itu ya ndak bisa. Wong kita bukan pemain.”
Tapi sudahlah. Yang jelas, berubahnya kepemimpinan belum tentu mengubah kondisi riil masyarakat. Soal ini memang agak rumit. Sebab, perubahan bupati dan wakil bupati dalam sistem kenegaraan kita memang tidak langsung terkait dengan unsur pemerintahan yang lain. Birokrasi misalnya. Bupati dan wabup boleh berubah seribu kali, tapi para pejabat di bawahnya kan masih tetap? Maka, Trenggalek memang identik dengan Indonesia. Dulu pernah saya tulis, Trenggalek adalah Indonesia kecil. Kondisinya sama dengan yang di pusat. Berubahnya presiden dan wapres tidak serta merta mengubah tatanan sosio budaya di bawahnya. Karena itu, dalam tataran tertentu, momen pilkada memang tidak bersinggungan secara langsung dengan perubahan masyarakat. Kalaupun ada kaitannya, itu tidak langsung. Itupun harus melalui syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi, seperti kekuatan visi, kekuatan basis politik,adanya keberanian mengambil sikap, adanya kekuatan inovasi dan kreatifitas dan sebagainya.
Gerakan Rakyat (Civil Society Movement)
Terus, Trenggalek ini harus diubah dimulai dari mana kalau begitu ? Saya menjadi mantap, yang jelas bukan dari momen pilkada an sich . Kalau ingin mengubah tatanan poleksosbud menuju yang lebih baik harus dimulai dari akarnya. Ini berarti harus dimulai dari rakyat di akar rumput. Rakyat mesti dibikin pinter dahulu sebelum kita memprogram yang lain-lain. Dalam ilmu politik ada istilah demokrasi meritokratik. Artinya, para pelaku demokrasi harus terdiri dari orang-orang yang tercerahkan lebih dahulu. Sebab, jika pelaku demokrasi terdiri dari orang-orang yang kurang pintar, maka timbulnya penipuan, pengebirian hak-hak politik akan sulit dihindari. Rakyat harus pintar dan berdaulat atas dirinya sendirinya.
Perubahan sosial yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin besar juga dimulai dari sini. Nabi Muhammad SAW misalnya, memulai perubahan sosial melalui beberapa tingkatan. Pertama, bina`u syakhsiyah islamiyah (pembentukan pribadi yang tercerahkan). Artinya perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Ibda` bi nafsik. Ada juga slogan yang sempat saya baca beberapa tahun lalu : Reformasilah dirimu, niscaya tegak reformasi di negerimu. Begitulah, Nabi membina para sahabat di Makkah selama 13 tahun. Kedua, bina`ul usrah al muslimah (pembinaan keluarga sejahtera). Dari terbentuknya pribadi yang tercerahkan tadi harus muncul keluarga-keluarga yang juga unggulan. Ketiga, bina`ul mujtama` al islami (pembinaan masyarakat). Artinya, setelah pribadi dan keluarga beres, baru mengubah masyarakat. Ini akan lebih gampang dan lebih sesuai dengan fitrah manusia. Nah, kalau mau dilanjutkan, ada tingkat keempat, yakni ishlahul hukumah (memperbaiki pemerintahan). Jadi, pemerintahan yang baik hanya bisa lahir dari pribadi, keluarga dan masyarakat yang juga baik. Inilah mungkin rahasianya, kenapa kita jadi sulit menemukan pemimpin yang baik dan cerdas, karena memang basis sosialnya belum mendukung untuk itu. Pemimpin dilahirkan oleh zamannya.
Mungkin ada yang bilang, wah kalau begini terlalu lamaa. Padahal persoalan di sekitar kita kan banyak dan menuntut segera diselesaikan. Memang betul, agak memakan waktu karena perlu melibatkan banyak elemen secara bersamaan. Tapi, jangan lupa, kita kan ndak potongan untuk melakukan yang cepat-cepat. Revolusi, itu bagi orang kita kan terlampau susah untuk membayangkannya. Bahkan, Hugo Chaves yang presiden Venezuela yang kharismatik itu pun, untuk melakukan revolusinya, juga harus melalui tahapan membangun gerakan masyarakat yang kuat.
Kembali ke Trenggalek sekarang. Jika kita ingin menciptakan perubahan maka harus dimulai dengan perubahan di tingkat masyarakat. Saya jadi tertarik menekuni dan menyelami bagaimana kerja kawan-kawan ORNOP (Organisasi Non Pemerintah) yang istiqomah yang setia mendampingi massa bawah meningkatkan dirinya. Mendampingi proses mereka, mendata dan memperjuangkan daftar aspirasi mereka. Memang tidak kita pungkiri banyak ORNOP yang berorientasi pragmatis dan bersifat sementara. Tapi, ide dasar ORNOP untuk memberdayakan masyarakat patut untuk dikembangkan. Bahkan harus didukung oleh pemerintah dan semua pihak. Wallahu a`lam.
Penulis adalah ketua
Institusi Pemberdayaan Potensi Masyarakat (IP2M)
Peminat masalah-masalah Trenggalek
Langganan:
Postingan (Atom)