Sabtu, 24 Mei 2008

Nasionalisme Simbolik

Ini kisah masa kecil ketika didaulat mengikuti acara agustusan sekolah. Saya ingat betul, waktu itu diminta macak menjadi petani. Ibu guru memberi motivasi bahwa para petani adalah orang yang sangat berjasa bagi Indonesia. “Sehingga dengan karnaval ini, kita mengenang jasa-jasa mereka. Begitu pula dengan pak dokter, para ulama, para pedagang, dan lain-lain,sangat besar jasanya dalam mengisi kemerdekaan,” ujar sang guru. Begitulah, logika “bocah” yang saya tangkap waktu itu adalah bahwa setiap agustusan merupakan saat untuk mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan yang susah payah diraih para pahlawan itu mesti kita isi dengan acara agustusan : ya karnaval, ya mendirikan eksposisi, ya dengan ikut lomba baris, dan sebagainya.
Tentu saja kesederhanaan cara pikir saya semasa kecil itu tidak benar.Jelas sekali bahwa apa yang disebut sebagai mengisi kemerdekaan mesti dilakukan kapan saja, bukan saat agustusan thok. Belakangan, ketika sekolah di SMP baru saya tahu --- dan ini yang lebih penting --- bahwa mengisi kemerdekaan harus dengan kerja keras, mengisi hari-hari dengan prestasi. Akan tetapi, dari tahun ke tahun, yang hadir di depan kita adalah kenyataan bahwa mengisi kemerdekaan cukup dengan hanya memeriahkan agustusan. Tidak lebih. Nampaknya, pendidikan nasionalisme kita memang masih sebatas menanamkan “simbol-simbol” dan belum bergerak mengarah ke penanaman substansi. Ketika hendak menghargai jasa petani, misalnya, anak-anak belum diajak ke sawah, ikut bergelut dengan lumpur, sembari mendengarkan cerita bapak-bapak tani yang kesulitan meninggikan harga jual padi saat panen tiba. Sehingga, mengisi kemerdekaan dalam konteks menghormati petani, seharusnya bisa bermakna juga bagaimana berpikir semampu kita membantu pak tani menyelesaikan problem-problemnya. Atau setidaknya, akrab mengetahui masalahnya tersebut. Namun sekali lagi, di luar agenda agustusan, kita belum terbiasa mengeksplor nasionalisme itu dalam tataran substansi-substansi riil keseharian kita. Yang kita lakukan baru menampilkan simbol-simbol nasionalisme, itupun hanya saat agustusan.
Sehingga, susah untuk menghilangkan kesan yang terpatri dalam benak saya sewaktu kecil di atas. Bahwa mengisi kemerdekaan adalah dengan merayakan agustusan.

Budaya Serba Simbol
Rupa-rupanya kita telanjur hidup dalam alam yang serba simbolik. Kita telanjur lebih mengutamakan symbol-simbol ketimbang isi. Dalam acara-acara formal, hal itu nampak sekali. Lihatlah, betapa agenda-agenda birokrasi kita sangat menonjolkan aspek simbol. Setiap acara yang digelar biasanya lebih menekankan sisi formalitasnya. Akhirnya substansi acara itu sendiri jadi hilang. Berapa banyak kita dapati misalnya, dialog antara seorang pejabat dengan kalangan masyarakat, begitu sangat formal sehingga pertemuan yang ada akhirnya lebih sebagai basa-basi ketimbang menampung apa aspirasi masyarakat tersebut. Kehadiran seorang menteri, gubernur, ataupun bupati di forum-forum tatap muka dengan warga, susah kita menemukan substansi yang konkrit yang bisa ditindaklanjuti pasca pertemuan itu. Kalaupun ada hal itu sangat sedikit prosentasenya dibandingkan suasana formal-simboliknya.
Padahal biaya untuk mendukung terselenggaranya aspek-aspek formal-simbolik itu biasanya sangat besar. Seorang pejabat yang berkunjung ke daerah, pasti akan melibatkan sekian banyak personal dengan agenda beragam, sejak dari bagian kesenian, bagian protokoler, seksi ramah tamah dan sebagainya. Cost-nya saya yakin sangat mahal. Padahal, di sisi lain, substansi yang sebenarnya ingin disampaikan sering kehilangan ruh-nya. Jadi, mengejar formalitas, sambil melupakan substansi.
Kembali ke soal agustusan. Jika kita tidak hati-hati, forum agustusan yang datang tiap tahun itu bisa menjadi sekedar simbol-simbol nasionalisme. Sementara kita tidak berbicara apa “ isi “ nasionalisme yang kita berikan pada bangsa. Seakan-akan mengisi kemerdekaan selesai dengan upacara formal, karnaval, baris berbaris, aneka perlombaan, pesta kembang api, dan sebagainya. Anak-anak pun akan terbentuk dengan pola pikir begitu. Dan jangan lupa hal itu biayanya sangat mahal. Konon pemerintah kota Semarang mengeluarkan sebuah peraturan bahwa lomba penjor yang memakai sekian ratus watt listrik untuk seluruh kota tersebut ditiadakan. Pertimbangannya karena keprihatinan bahwa listrik kita masih byar pet dan PLN begitu kompleks persoalannya. Beberapa waktu yang lalu, seorang PNS juga pernah ngudarasa pada saya bahwa dua anaknya perlu biaya mahal karena harus ikut karnaval semua. “ Apa hal seperti itu tidak ada kebijakan untuk disederhanakan?” ujarnya sembari usul bahwa acara PHBN di Kab.Trenggalek perlu disederhanakan.

Simbol dan Isi Harus Imbang
Yang patut dicatat, adalah bahwa bukan berarti acara-acara agustusan itu salah semua. Tidak. Bukan berarti tidak boleh mengedepankan simbol dalam agenda-agenda agustusan. Boleh saja, bahkan dalam hal-hal tertentu hal itu diperlukan. Yang patut ditekankan disini adalah bagaimana agar disamping acara-acara formal-simbolik itu, harus diimbangi dengan agenda-agenda yang lebih mengarah substansi dan lebih bermanfaat, syukur-syukur mendidik. Misalnya, kalau ada agenda-agenda pawai, pentas kesenian dan sebagainya, kenapa tidak digagas semisal lomba menulis aspirasi, atau lomba karya ilmiah untuk pelajar dan mahasiswa, atau lomba teknologi tepat guna seperti dulu pernah diselenggarakan. Atau model acara lain yang lebih berkualitas. (Dimuat Radar Tulungagung,rabu,13 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: