Jumat, 28 Maret 2008

Pemerintahan Daerah Mau Dibawa Kemana?

Pemerintahan Daerah ; Mau Dibawa Kemana?

Oleh : Mulyono Ibrahim

Inilah era Otonomi Daerah ! Era dimana orang daerah berhak berbuat sesuai aspirasi nurani kedaerahannya. Era dimana kewenangan- kewenangan yang sempat “dicuri” pusat semasa Orba, kini dikembalikan ke daerah. UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur dan menjamin terlaksananya proses pelembagaan Otonomi daerah tersebut. Begitulah, akhirnya telinga kita jadi karib dengan istilah, misalnya, Pilkada (Pemilihan Langsung Kepala Daerah). Sesuatu yang barangkali tak mungkin terdengar selama kurun waktu tiga puluh tahun ke belakang. Bahkan mungkin sejak enam puluh tahun lalu, sejak negeri ini meraih kemerdekaan. Seumur-umur kita, mungkin baru belakangan ini saja kita memilih bupati atau walikota secara langsung. Nampaknya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa inilah salah satu hasil konkrit zaman Reformasi yang positif.
Nah, sebagaimana yang kita ketahui, out put dari kegiatan demokrasi yang disebut pilkada itu adalah terbentuknya sebuah pemerintahan daerah yang langgamnya jelas berbeda dengan pemerintahan masa lalu yang dihasilkan oleh pemilihan tak langsung. Jika seorang bupati, misalnya, dipilih oleh 45 anggota legislatif daerah, maka jelas posisi tawarnya akan sangat tergantung pada suara yang muncul dari gedung dewan. Betapapun bupati memiliki cita-cita berjalan ke arah barat, jika gedung dewan menghendaki berjalan ke utara, biasanya bupati tidak berdaya. Bagaimana dengan oposisi ? Biasanya juga lemah, karena operasi politik yang ada lebih tunduk pada paket-paket kepentingan (interest) ketimbang digerakkan oleh sebuah visi yang kuat. Maka kompromi adalah jalan keluar yang biasanya ditempuh.

Antara Tawar Menawar Politik dan Kekuatan Pilihan Rakyat

Pertanyaan yang mungkin timbul adalah, jika seorang bupati atau walikota telah dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, apakah dia otomatis bisa leluasa mengekspresikan gagasan-gagasannya yang tertuang dalam visi-misi yang kemudian dikonkritkan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) ? Apakah ketika lembaga eksekutif tersebut telah mengantongi legitimasi rakyat melalui pilkada, serta merta mereka bebas menjalankan program-programnya ? Bagaimana dengan legislatif ?
Inilah kawasan yang cukup rumit. Pemerintahan daerah hasil pilkada secara moral dan politik tentu bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat yang memilihnya. Sehingga amat wajar jika keberlangsungan pemerintahan daerah memerlukan suasana yang kondusif, tenang dan jauh dari hiruk pikuk politik. Katakanlah, eksekutif ingin khusyu` mengerjakan PR yang dibebankan rakyat kepada mereka. Sehingga rakyat bisa mendapatkan apa yang pernah dijanjikan sang calon bupati atau walikota saat kampanye dulu.Itu di satu sisi.
Sementara di sisi lain, ada lembaga legislatif yang juga memiliki connecting (ketersambungan) dengan rakyat melalui partai-partai politik. Artinya, anggota legislatif juga memiliki logika berdemokrasi yang absah di alam otonomi daerah. Dengan bahasa lain, suara dari gedung Dewan juga memiliki sejumlah “kepentingan” yang mesti diperjuangkan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, legislatif jelas masih punya peran strategis, walaupun tidak bisa melakukan impeachment (pemecatan) pada kepala daerah. Diantaranya adalah dalam hal penentuan budget (anggaran) untuk APBD. Okelah eksekutif memiliki program-program yang canggih. Silakan eksekutif mengklaim melaksanakan amanat rakyat yang telah memilihnya, namun soal anggaran dia waji berunding dengan anggota Dewan yang merupakan representasi wakil rakyat juga. Disinilah terjadi medan tawar menawar antara kepentingan anggota legislatif dengan pemerintahan daerah hasil pilkada.
Bahwa legislatif mendesakkan kepentingannya sebenarnya lumrah saja. Di era otonomi daerah sering kita mendengar komentar-komentar agak miring. Memang harus diakui bahwa di awal-awal reformasi, kerap kali DPRD kebablasen menerapkan kewenangan-kewenangan Otonomi-nya, ditambah dengan kemunculan beberapa oknum anggota legislatif yang kebetulan bertindak tidak populer. Jelas, ini harus dikritisi. Namun, lepas dari itu semua, sistem kepolitikan kita memang masih menempatkan lembaga-lembaga negara termasuk DPRD dalam situasi transisi yang tengah mencari bentuk. Masih ingat dalam benak kita, belakangan anggota DPD protes kepada MPR agar kewenangannya ditambah karena mereka di pusat tidak begitu bisa “bermain”. Nah, jika mau jujur, lembaga legislatif atau lebih tepatnya, sistem kepartaian kita juga masih belum ideal.
Orang sering lupa bahwa kerja-kerja politik melalui mekanisme partai seperti pemilu, memerlukan cost (biaya) tinggi. Biaya tinggi dalam politik kita sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari masih rendahnya tingkat pendidikan politik rakyat, disamping para elit politik yang juga belum berpikir visioner dan ideologis dalam mengembangkan partainya. Dua aspek ini, pada gilirannya akan melahirkan budaya serba instant dalam perpolitikan kita. Dengarkanlah obrolan di warung-warung kopi, di gardu-gardu, atau di lokasi-lokasi keramaian, niscaya kita akan dapati bahwa untuk meraih suara di legislatif memerlukan biaya besar karena harus melalui logika pragmatis dan instant yang realitasnya masih disukai oleh sebagian besar rakyat. Mungkin agak berbeda kasusnya dengan pemilih yang melek politik, misalnya di Jakarta. Di daerah, rata-rata hal-hal tersebut masih berlaku.
Nah, wajar kalau akhirnya legislatif juga memiliki agenda-agenda, kepentingan dan persoalan yang barangkali saja belum tentu berhubungan dengan pelaksanaan visi misi kepala daerah pilihan rakyat.

Perlu Sedikit Cerdas
Kembali ke judul tulisan ini, maka pemerintahan daerah memang berada di persimpangan jalan. Jika terlampau kekeh berorientasi pada visi-misi yang dikampanyekan pada pilkada, sambil mengesampingkan kepentingan-kepentingan legislatif maka jelas badai oposisi dari DPRD akan sangat dahsyat. Jika ini yang terjadi, maka program pemerintahan daerah justru akan macet. Sebaliknya, jika lebih berorientasi pada kepentingan legislatif juga kurang bagus karena aspirasi rakyat selama pilkada berarti tidak fokus dijalankan. Bagaimana seharusnya ?
Nampaknya, menghadapi kenyataan lapangan yang demikian kompleks, pemerintahan daerah perlu sedikit lebih cerdas. Bupati dan wakil bupati adalah jabatan politis. Artinya, dalam seluruh kinerjanya memang berbasis pada pendekatan politik. Dalam menata seluruh program, mesti melakukan akomodasi-akomodasi kepentigan berbagai pihak dengan bargaining position yang jelas : yaitu agar mengamankan agenda pemerintahan daerah. Harus ditemukan titik tengah yang bisa menjembatani antara logika politik di satu sisi dengan logika pemerintahan daerah.
Jika kepala daerah tidak melakukan terobosan-terobosan cerdas, nampaknya akan semakin terkucil dari pergaulan politik lokal. Wallahu a`lam.

Penulis adalah pemerhati isu-isu daerah.Tinggal di Trenggalek

Tidak ada komentar: