Senin, 03 Maret 2008

Perubahan : Darimana Dimulai?

Refleksi Hari Jadi Trenggalek
Perubahan ; Dari Mana Harus Mulai ?
Oleh : Mulyono Ibrahim *)

Setiap datang hari jadi, saya selalu sempatkan merenung sejenak. Apa yang sudah kita dapat dan apa yang belum kita raih untuk Trenggalek tercinta. Yaa, katakanlah menjadi analis sosial kecil-kecilan-lah. Suatu saat kalau saya sudah agak kaya sedikit, kepingin rasanya mengumpulkan refleksi berisi tulisan-tulisan bernuansa ketrenggalekan tersebut dalam sebuah buku. Mimpi saya memang kepingin menerbitkan sendiri buku khusus tentang Nggalek kemudian didiskusikan. Ini penting, agar kita-kita wong Nggalek terbiasa berdiskusi, terbiasa berbeda pendapat, terbiasa kritis tetapi tetap santun dan ramah. Bermimpi kan tidak dilarang.
Hari jadi tahun ini saya mencatat sebuah kekeliruan saya yang cukup fatal. Alhamdulillah, saya masih bisa belajar dari kekeliruan-kekeliruan agar tidak mengulang kembali kesalahan itu di tahun yang akan datang. Apa itu ? Begini. Ketika musim pilkada tahun kemarin, saya terlalu berharap banyak Trenggalek akan berubah seiring dengan perubahan kepemimpinan. Pada saat itu saya terlalu bersemangat bahwa Trenggalek akan mengalami sekian perubahan mendasar menyusul terpilihnya penguasa baru. Apalagi, ada jargon yang cukup menarik dari pemenang pilkada tersebut : Pro Perubahan ! Waktu itu, harapan membuncah di dada kita bahwa kehidupan politik akan lebih bermutu, penyelenggaraan administrasi pemerintahan akan lebih rapi, pelayanan publik menjadi lebih berorientasi kepada rakyat, konflik kepentingan bisa lebih ditata, dan seterusnya dan seterusnya. Tetapi, ternyata fakta di lapangan berbicara lain.Apa yang kita harap-harapkan itu ternyata tidak begitu gampang terealisir. Bahkan dalam banyak kasus, kita temukan kemunduran-kemunduran. Maksud saya, perubahan kepemimpinan politik jangan serta merta dikait-kaitkan dengan perubahan Trenggalek secara menyeluruh. Apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan nasib rakyat, pemberantasan korupsi, pelayanan publik dan kalimat-kalimat idealis lainnya. Hal-hal seperti itu tidak serta merta berhubungan langsung dengan pergantian kekuasaan.
Ada yang pernah memprotes saya. “Bukankah sampeyan termasuk barisan pendukung ? Kenapa tidak bisa membawa perubahan yang jelas di Trenggalek ?” tanya aktivis ini berapi-api. Saya pun perlu menjawab dengan jawaban santai tapi serius. “Betul.Tapi kan bupati dan wabup-nya bukan saya ? Artinya, peran serta maksimal kita dalam kekuasaan bagaimana pun hanyalah sebatas memberi masukan, saran dan kritik. Lebih dari itu ya ndak bisa. Wong kita bukan pemain.”
Tapi sudahlah. Yang jelas, berubahnya kepemimpinan belum tentu mengubah kondisi riil masyarakat. Soal ini memang agak rumit. Sebab, perubahan bupati dan wakil bupati dalam sistem kenegaraan kita memang tidak langsung terkait dengan unsur pemerintahan yang lain. Birokrasi misalnya. Bupati dan wabup boleh berubah seribu kali, tapi para pejabat di bawahnya kan masih tetap? Maka, Trenggalek memang identik dengan Indonesia. Dulu pernah saya tulis, Trenggalek adalah Indonesia kecil. Kondisinya sama dengan yang di pusat. Berubahnya presiden dan wapres tidak serta merta mengubah tatanan sosio budaya di bawahnya. Karena itu, dalam tataran tertentu, momen pilkada memang tidak bersinggungan secara langsung dengan perubahan masyarakat. Kalaupun ada kaitannya, itu tidak langsung. Itupun harus melalui syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi, seperti kekuatan visi, kekuatan basis politik,adanya keberanian mengambil sikap, adanya kekuatan inovasi dan kreatifitas dan sebagainya.

Gerakan Rakyat (Civil Society Movement)
Terus, Trenggalek ini harus diubah dimulai dari mana kalau begitu ? Saya menjadi mantap, yang jelas bukan dari momen pilkada an sich . Kalau ingin mengubah tatanan poleksosbud menuju yang lebih baik harus dimulai dari akarnya. Ini berarti harus dimulai dari rakyat di akar rumput. Rakyat mesti dibikin pinter dahulu sebelum kita memprogram yang lain-lain. Dalam ilmu politik ada istilah demokrasi meritokratik. Artinya, para pelaku demokrasi harus terdiri dari orang-orang yang tercerahkan lebih dahulu. Sebab, jika pelaku demokrasi terdiri dari orang-orang yang kurang pintar, maka timbulnya penipuan, pengebirian hak-hak politik akan sulit dihindari. Rakyat harus pintar dan berdaulat atas dirinya sendirinya.
Perubahan sosial yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin besar juga dimulai dari sini. Nabi Muhammad SAW misalnya, memulai perubahan sosial melalui beberapa tingkatan. Pertama, bina`u syakhsiyah islamiyah (pembentukan pribadi yang tercerahkan). Artinya perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Ibda` bi nafsik. Ada juga slogan yang sempat saya baca beberapa tahun lalu : Reformasilah dirimu, niscaya tegak reformasi di negerimu. Begitulah, Nabi membina para sahabat di Makkah selama 13 tahun. Kedua, bina`ul usrah al muslimah (pembinaan keluarga sejahtera). Dari terbentuknya pribadi yang tercerahkan tadi harus muncul keluarga-keluarga yang juga unggulan. Ketiga, bina`ul mujtama` al islami (pembinaan masyarakat). Artinya, setelah pribadi dan keluarga beres, baru mengubah masyarakat. Ini akan lebih gampang dan lebih sesuai dengan fitrah manusia. Nah, kalau mau dilanjutkan, ada tingkat keempat, yakni ishlahul hukumah (memperbaiki pemerintahan). Jadi, pemerintahan yang baik hanya bisa lahir dari pribadi, keluarga dan masyarakat yang juga baik. Inilah mungkin rahasianya, kenapa kita jadi sulit menemukan pemimpin yang baik dan cerdas, karena memang basis sosialnya belum mendukung untuk itu. Pemimpin dilahirkan oleh zamannya.
Mungkin ada yang bilang, wah kalau begini terlalu lamaa. Padahal persoalan di sekitar kita kan banyak dan menuntut segera diselesaikan. Memang betul, agak memakan waktu karena perlu melibatkan banyak elemen secara bersamaan. Tapi, jangan lupa, kita kan ndak potongan untuk melakukan yang cepat-cepat. Revolusi, itu bagi orang kita kan terlampau susah untuk membayangkannya. Bahkan, Hugo Chaves yang presiden Venezuela yang kharismatik itu pun, untuk melakukan revolusinya, juga harus melalui tahapan membangun gerakan masyarakat yang kuat.
Kembali ke Trenggalek sekarang. Jika kita ingin menciptakan perubahan maka harus dimulai dengan perubahan di tingkat masyarakat. Saya jadi tertarik menekuni dan menyelami bagaimana kerja kawan-kawan ORNOP (Organisasi Non Pemerintah) yang istiqomah yang setia mendampingi massa bawah meningkatkan dirinya. Mendampingi proses mereka, mendata dan memperjuangkan daftar aspirasi mereka. Memang tidak kita pungkiri banyak ORNOP yang berorientasi pragmatis dan bersifat sementara. Tapi, ide dasar ORNOP untuk memberdayakan masyarakat patut untuk dikembangkan. Bahkan harus didukung oleh pemerintah dan semua pihak. Wallahu a`lam.

Penulis adalah ketua
Institusi Pemberdayaan Potensi Masyarakat (IP2M)
Peminat masalah-masalah Trenggalek

1 komentar:

Unknown mengatakan...

orang yang tidak pernah salah adalah orang yang tidak pernah berbuat apa-apa, padahal tidak pernah berbuat apa-apa merupakan suatu kesalahan (kelirumologi-jayasuprana), dari sini kita diingatkan bahwa target-target dakwah itu perlu kita perjuangkan dengan amal nyata walau dengan fusi-fusi kecil insyaAllah akan menghasilkan kekuatan yang besar. merdekaaa...merdekaa...Allahu akbar