Kenaikan BBM dan Antisipasi Lokal
BBM. Tiga huruf ini belakangan kerap disebut-sebut orang. Bahkan kini orang susah untuk tidak bicara tiga huruf ini.Semua terpaksa ngomong soal BBM. Bukan hanya para mahasiswa yang menggelar demo. Juga bukan saja pihak pemerintahan SBY yang sibuk menjelaskan bahwa kenaikan BBM bukan semata-mata kekeliruannya, tapi akibat naiknya harga minyak dunia. Koran-koran pun menulis ulasan para pakar. Yaa, nampaknya cuma sedikit orang yang tidak ngomong BBM.
Namun, untuk konteks ketrenggalekan, yang paling banyak nggeremeng barangkali kawan-kawan dari kalangan sopir angkutan, ibu-ibu rumah tangga, bakul-bakul bakso, pedagang jajan pasar, dulur-dulur pedagang kaki lima, maupun kelompok-kelompok marjinal yang lain. Naiknya BBM tentu saja bikin gelisah semua orang. Jangankan yang menengah ke bawah, mereka yang konon punya penghasilan lumayan saja juga sempat mengeluh. Tak bisa dibantah, naiknya BBM bisa dipastikan disusul dengan meroketnya harga-harga kebutuhan dasar lain. Bahkan produk-produk tertentu malah sudah mendahuli naik. Hidup jadi kian susah. Rakyat di berbagai pelosok tambah terjepit ekonomi biaya tinggi.
Di tengah situasi seperti itu, nampaknya solusi jitu yang langsung bisa dirasakan dampaknya bagi rakyat belum kunjung mewujud. Pemerintah sebagaimana tahun-tahun lampau mengandalkan solusi yang tiga huruf juga : BLT. Solusi BLT tentu saja menuai protes banyak pihak. Sebab, duit yang seratus rupiah tersebut alih-alih bisa nambani luka-luka akibat kenaikan BBM. Justru duit yang tak seberapa itu melahirkan masalah baru, sejak dari data yang tidak sinkron hingga oyok-oyokan saat penerimaan di kantor pos. Begitulah, BLT pun akhirnya menjadi Bantuan Langsung Tawuran. Banyak pihak menilai BLT ibarat memberi ikan bleger, tanpa memberi kail. Jadi, tidak ada misi pendidikan kemandiriannya.
Seharusnya kenaikan BBM yang sangat mempengaruhi stabilitas ekonomi rakyat tersebut, harus diantisipasi secara cerdas. Pemerintah daerah sesuai dengan semangat Otoda memiliki ruang yang cukup untuk melakukan sekian antisipasi konkrit. Mesti ada konsep secara menyeluruh pasca kenaikan BBM. Sangat mengherankan jika kenaikan BBM yang jelas-jelas telah mengubah dinamika ekonomi rakyat tersebut, tetapi tidak ada langkah-langkah antisipasi. Pemkab dan wakil rakyat harus punya agenda khusus terkait BBM yang out put-nya adalah kebijakan-kebijakan antisipatif, yang memberi solusi ---setidaknya jangka pendek dan menengah --- bagi rakyat.
Kira-kira apa kebijakan yang bisa ditelurkan Pemkab dan legislatif ? Setidaknya ada tiga hal. Pertama, kampanye moral untuk mengurangi ketergantungan pada BBM. Ya,minimal terkurangi. Beberapa daerah ada yang memberi contoh dengan bersepedah ke kantor pada hari-hari tertentu. Simbolik memang. Tapi setidaknya bisa membuat opini publik, bahwa kita sesungguhnya tidak akan mati tanpa BBM. Ini bisa dielaborasi dengan berbagai kegiatan lain, seperti penumbuhan energi alternatif seperti biodisel dari tanaman jarak dan sebagainya. Kedua, merancang APBD 2009 yang lebih berorientasi pada pengembangan ekonomi kerakyatan, seraya mengurangi atau bahkan memangkas anggaran-anggaran yang “mubazir” dan belum mendesak. Mencermati APBD Trenggalek dari tahun ke tahun, banyak sekali item-item kegiatan yang sebenarnya lebih bisa diarahkan pada kegiatan produktif. Nah, dengan naiknya BBM, hal itu harus diubah. Ketiga, prioritaskan kegiatan pemkab pada Sumber Daya Manusia. Artinya, SDM yang berkualitas tinggi, relatif lebih bisa mengatasi persoalan. Inovasi dan kreativitas dalam posisi sulit bisa lahir dari SDM yang berkualitas dan mandiri. Petani yang SDM-nya tinggi jelas akan punya wawasan bagaimana solusi mengatasi tanah yang kian rusak akibat pupuk kimia.Sebab, petani berwawasan jelas paham bahwa pertanian organik merupakan jawaban dari persoalan tanah tersebut. Begitu juga dengan soal BBM yang naik, pasti mereka yang kualitas SDM tinggi akan lebih bisa membuka solusi-solusi baru. Pemerintah-lah yang berkewajiban meningkatkan SDM warganya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar