Hari ini,30 Agustus 2008. Di pendopo kabupaten digelar peringatan hari jadi kota Trenggalek, dimajukan dari yang resmi, yaitu tanggal 31 Agustus lantaran ada kemungkinan tanggal tersebut sudah masuk Ramadan.Setiap tahun,begitu tiba hari jadi saya biasa membuat catatan-catatan, seputar refleksi tentang kabupaten ini. Sejak dari problemnya,prospek ke depannya,hingga pernik-pernik yang mengiringi hal itu. Sebagian dari catatan itu dimuat Radar Tulungagung, Radar Kediri, Harian Bangsa,dan radio lokal.
Terkait ini,kemarin, saya dihubungi oleh wartawan radio Satria FM, mas Fajar. Saya diajak wawancara tentang hari jadi tahun 2008. Tentu saja pertanyaan mas Fajar "mancing-mancing" agar muncul sikap kritis saya.Wah...sebenarnya saya pengin tidak meledak-ledak lagi kayak dulu. Sebab,sekarang kan sudah mulai tua,jadi mesti bijak begitu...he..he..
Tapi begitu mas Fajar bertanya :" Apa sih yang sudah Trenggalek dapat di usianya yang ke-814 tahun ini?" Karena live dan posisi saya di kantor DPD PKS, maka saya harus menjawab secara spontan. Saya sampaikan bahwa tidak fair kalau saya mengatakan tidak ada perkembangan. Ada perkembangan,ada trend yang bagus.Namun saya juga merasa tidak adil,jika tidak saya sampaikan sejumlah keprihatinan.
Tentu saja sang penyiar memburu. Lho keprihatinan gimana? Saya sampaikan bahwa sejumlah prestasi yang diraih, apakah yang dari JPIP atau Adipura, hanyalah aspek permukaan.Kulit,dan belum isi. Sejumlah prestasi sekarang ini sebegitu jauh belum menyentuh substansi kebutuhan riil masyarakat kita.
Apa kebutuhan riil tersebut ? Paling tidak adalah : ketersediaan lapangan kerja,perbaikan infrastruktur,pengembangan ekonomi berbasis kerakyatan dan sebagainya. Namun yang ternyata semua itu belum bisa dirasakan oleh masyarakat secra luas. Penghargaan JPIP bahwa Trenggalek adalah pioner ekonomi kerakyatan,hanyalah melihat pada satu aspek fenomena yang nampak yaitu pemberdayaan ekonomi nelayan.Tetapi, secara umum, apa yang disebut sebagai inovasi ekonomi lokal itu belum bisa dibilang merata.Apalagi bila kita bicara adipura.Penghargaan-penghargaan itu nampaknya masih merupakan sisi luar dari kondisi riil Trenggalek.
Ironisnya,kita ini masih suka dengan simbol-simbol.Dalam rangkaian perayaan hari kemerdekaan dan hari jadi,beberapa hari yang lalu,bupati "macak" wayang wong dalam acara lomba panahan tradisional.Kemudian,hari ini kita disuguhi aneka prosesi,sejak dari kirab pusaka,ziarah bupati pertama,aneka pakaian adat dan sebagainya.Ini hanyalah simbol-simbol.Bukannya tidak boleh, tetapi disamping simbol-simbol itu,ada yang lebih urgen : membangun dengan keringat ke lapangan riil.
Jadi,jika kita memang ingin meneruskan cita-cita the founding father Trenggalek,Menak Sopal, maka yang dilakukan Menak Sopal pertama kali begitu masuk Trenggalek adalah mendirikan program irigasi pertanian dengan membangun dam Bagong.Bukan dengan memakai blangkon,berpakaian adat jawa lantas sudah merasa meneruskan cita-cita Menak Sopal.Apalagi jika hanya dengan gelar jawa yang didapat dari kraton Solo akhirnya sudah merasa membangun.Itu hanyalah simbol,harus dilengkapi dengan substansi.
Hari Jadi.Sudahkah Trenggalek benar-benar "jadi"? Nampaknya kok belum.Kecuali kalau jadi guyon....he..he..
Jumat, 29 Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)